Menangislah jika ingin menangis, bersedihkah jika ingin bersedih, berdukalah jika ingin berduka.Tak apa, sungguh tak apa, manusia mana yang merasa dirinya kuat, nyatanya ia yang paling terluka dalam. Hanya saja, ia tidak bisa menunjukkan pada manusia, merena ia tau tidak akan menemukan solusi baginya, karena memang sebaik-baik pengaduan adalah Allah semata.
đź’•
Jam masih menunjukkan pukul 16.00 WIB, ku tatap langit yang warnanya tak secerah seperti biasanya, suasananya mendung di tambah desiran angin yang membawa daun kering dan ranting-ranting kecil berjatuhan secara perlahan. Begitupun burung-burung yang biasanya bertengker mencari makan di pohon samping rumah, sekarang pada sibuk terbang entah kemana arahnya, aku masih terus memandangi dari bilik cendela. Memang sengaja ku tutup tanpa membukanya, biar nanti jika hujan tiba-tiba datang, aku tidak terlalu kewalahan menutup cendela.
Ya, akhir-akhir ini, aku memang tidak menyukai hujan maupun aroma basah yang mereka tawarkan, karena hujan dan aromanya bisa mengingatkan ku tentangnya yang dulu pernah menyakinkan ku bahwa hujan tidak pernah membuatku merasa sakit. Bahkan dari aroma patrichonnya saja, wajahnya sudah tergambar di pelupuk mataku, membuat aku semakin kewalahan mengatur hati yang semakin hari semakin tak karuan. Makanya itu, akhir-akhir ini aku kurang menyukai hujan, apalagi hujan di waktu senja, karena hujan dan senja adalah kedua objek yang selalu menjadi favorit aku dan dia saat menjadi kita.
Memang benar rupanya, bahwa hujan dan dia itu sama-sama jatuh dengan indahnya, namun sangat menyakitkan, semakin banyak kenangan, maka sesakit itu pula melupakan.
Kepada sang senja yang sekarang tengah tertutup mendung. Sebenarnya aku ingin belajar banyak darimu perihal kata rela, tapi melihat warnamu saja yang merona, hatiku sudah menjadi merana, padahal hanya warna jingga, tapi sehebat itu kau mengoyak rasaku. Karena memang, bukan sekali dua kali aku bersamanya menikmati senja, entah itu di plafon maupun di jalan raya sambil di bonceng dengan sepeda geddenya itu. Bahkan, nongkrong di kedai es krim yang biasanya kita lewati berdua, jadi wajar jika detik ini aku sangat tak ingin melihatmu.
Berselang dari itu, hujan pun hadir menetes dengan gemericik, membuat sebuah genangan, hingga lengkaplah rasa ku yang semakin tak karuan. Jiwaku meronta tak tertahan, hingga tetesan air mata pun pecah membasahi jilbab yang ku kenakan. Memory tentangnyapun sulit ku lupakan.
Mungkin aku terlalu cinta, hingga rasaku buta, mungkin aku terlalu sayang, hingga jiwaku melayang. Masih sibuk dengan rasa yang tak karuan, tanpa sadar panggilan masuk pun datang, namun saat ku lihat di layar Hp, ternyata No tidak di kenal. Jadi ku biarkan saja tak terjawab hingga panggilan melayang.
Chat masuk melalui Whatsapp tertera di layar Hp ku, masih dengan No yang sama, namun aku masih enggan membacanya, ku biarkan chat itu tertimbun bersama chat masuk dari beberapa grup Whatsapp.
Aku masih ingin menikmati rasa yang tak menentu ini, aku ingin menikmati jiwa yang sangat rapuh ini. Intinya, saat ini aku ingin sendiri tanpa ada yang mengganggunya lagi. Mungkin tuhan memberiku musibah ini agar aku terus bermuhasabah diri. Meski tak rela melepaskan diri, tetap saja, hidup harus terus berjalan. Seberat apapun cobaan karena pada dasarnya, aku tau, bahwa tuhan tidak akan bahagia melihat hambanya terluka terus-terusan.
Adzan Magrib menggema di seluruh penjuru. Segera saja aku bergegas menuju ke kamar mandi untuk mensucikan diri dari hadats kecil, namun tiba-tiba saja Bunda membuka pintu kamar.
"Ra, sholat ke masjid yuk, bareng Bunda." pungkasnya yang sudah siap memakai mukena. Sedang aku masih terdiam, sebenarnya aku malas untuk keluar kamar, mengingat hatiku masih tak karuan.
"Males Bun, di luar masih hujan lo." terangku menimpali Bunda yang tengah mengajakku sholat di masjid.