Selimut Ilusi

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #4

Luka Tak Terlihat

Kaca hatiku berderit-derit di dalam peti koyak, terseret cinta busuk menuju lautan nanah.

***

“Sa ... Saya baru saja menemukan mayat, Pak!”

Ucapan tersebut seakan bisa terbawa angin malam hingga didengar oleh Jembatan Suramadu yang tampak megah di bawah sinar rembulan, membentang gagah di atas laut gelap. Lampu-lampu jalan menyinari jalur aspal, menciptakan pantulan gemerlap pada permukaan air laut di bawah jembatan. Mobil-mobil berlanglang dengan cahaya lampu keemasan dan putih yang berpadu semu, bagaikan menyusuri jalan tak berujung. Suasana malam itu anggun, tetapi penuh dengan aura magis dari alam, seolah jembatan tersebut menyimpan kisah panjang yang tidak pernah tersingkap.

Erin sempat bersikeras memberikan keterangan tertulis kepada polisi bernama Zul. Sebelumnya, detektif Rohman—yang dianggap bajingan oleh Erin—terus memaksanya untuk berbicara langsung.

“Lagi pula, saya merasa lebih sulit memberikan keterangan secara lisan. Kasus ini membelit saya, sungguh runyam!” kata Erin dengan nada tegas.

“Kau begitu kukuh ingin menulis, itu menyita waktu kami! Dasar keras kepala!” Rohman menggertakkan giginya, menatap tajam ke arah Erin.

“Dasar bajingan tengik! Saya sudah berusaha santun dan mau memberi penjelasan. Tekanan dari Anda benar-benar membuat saya muak!” Erin tak bisa menahan amarahnya.

“Kau benar-benar dokter sinting!” Rohman menaikkan nada bicaranya, tampak jelas ia sangat kesal.

Perdebatan itu berlarut-larut, tetapi akhirnya, meski terpaksa, Rohman menuruti kemauan Erin. Catatan yang dia berikan kepada polisi itu menjelaskan, dengan kalimat penuh keraguan, bagaimana ia menemukan mayat pria di tengah jalan—kejadian itu melilitnya dalam misteri yang tak bisa ia hindari.

Di sisi lain dari jembatan Suramadu, tepatnya di Pamekasan. Saat itu Erin pergi meninggalkan rumah pada pukul 19.30, beberapa orang melihatnya, barangkali satu atau dua orang, termasuk pemilik warung depan rumahnya. Erin berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini bukan mimpi. Matanya nyalang memandangi sekeliling, mencari sesuatu yang familier. Di tepi jalan, sebuah pos polisi terlihat terang benderang, dengan seorang polisi pria yang sedang piket jaga, tak terganggu oleh malam yang dingin dan ramai deru mesin kendaraan. Di depan pos, ada tong sampah usang terbuat dari besi, yang terlihat rapuh di bagian bawah, berkarat dan hampir ambruk, seolah menjadi saksi bisu dari lajunya waktu, tong itu tak kunjung diganti karena dana sudah masuk kantong pribadi.

Segala kerisauan menggelitik kepalanya, fantasi gila, berbagai skenario tersusun rapi di dalam sel-sel otaknya, ia mengkhayalkan jika ini adalah petaka terkutuk yang akan membawa dirinya menuju akhir kehidupan. Seperti terdapat ruang imajinasi luas di dalam kepalanya, seperti pikiran tajam tanpa etika milik anak kecil penuh rasa ingin tahu.

Kini ia memejamkan mata sebentar setelah menepikan mobil. Wanita berparas ayu tersebut mendesah sejenak, wajahnya berkeringat tetapi tak mengurangi sedikitpun pesonanya. Meski ia tampak kelelahan, isi kepalanya penuh sesak seperti sedang menggelar pentas ajing[1], seolah banyak mata memandangi, ia seakan tengah bermain ludruk tanpa iringan lagu.

“Tenanglah! Semua pasti akan kembali baik-baik saja. Tenanglah!” Erin mencoba mengatur napas.

Polisi berbadan kurus itu keluar dari pos mendekat ke arah mobil Erin, dia membungkuk melongkok dari luar kaca jendela mobil yang setengah terbuka. “Ada apa?”

“Sa ... Saya baru saja menemukan mayat, Pak!”

Raut wajah polisi itu langsung serius. “Siapa nama Anda? Jelaskan dengan perlahan.” Polisi itu kembali bertanya, “Apa benar yang Anda lihat?”

“Saya Erin. Ya. Saya sangat yakin.” Erin perlahan membuka pintu mobil, setelah keluar dari mobil ia berusaha berdiri tegak sambil menarik napas dalam-dalam.

Kurang waras tampaknya, pikir si polisi, masalah keluarga, atau kehabisan uang. Si polisi dengan berbagai prasangka menebak-nebak gelagat wanita di hadapannya itu. Polisi pria tersebut bergeser satu langkah sambil menyusun kalimat pertanyaan berikutnya. “Apa Anda sedang mabuk? Jika benar, Anda bisa terkena pasal karena menyetir dalam keadaan mabuk.”

“Tidak, Pak! Saya tidak mabuk.” Erin menaikkan suaranya yang terdengar agak parau. Polisi di depan Erin masih tampak ragu. “Percayalah! Tadi ada mayat tergeletak di depan mobil saya. Mayat itu berlumuran darah di jalan sepi dan berjarak beberapa ratus meter dari sini!”

Kepalanya pengar seperti baru saja dihantam gandin raksasa, tangannya juga terus gemetaran—tetapi perlahan mulai tenang. Erin punya rencana menginap di rumah Devi, ia yakin menyetir dalam keadaan seratus persen sadar, tidak mengonsumsi obat apa pun.

“Baiklah, aku akan mencatatnya untuk laporan.” Setelah beberapa menit, polisi itu menutup buku tulis di meja pos polisi, ia lantas kembali memandang ke arah Erin.

“Sekarang antar aku ke lokasi mayat itu,” kata polisi itu, tanpa ragu.

Lihat selengkapnya