Bersama keresahan dari balik rimbun semak, diiringi jatuhnya air mata darah, malam ini aku ingin berdandan lebih gelap, kelam, dan suram.
***
—Benarkah Anda menyekolahkan Erin semenjak orang tuanya meninggal?
Benar, saya hanyalah pria biasa, tanpa kekayaan atau aset berarti. Namun, saya memiliki satu hal yang tak dapat diukur dengan harta benda: dedikasi. Saya menunda pernikahan hingga saya memastikan Erin lulus dengan baik. Erin adalah sosok luar biasa, dia cerdas dengan potensi besar, bahkan mampu melanjutkan pendidikan ke Fakultas Kedokteran. Ia berhasil menempuh jalan tidak mudah, meski harus melelang beberapa koleksi benda-benda antik peninggalan almarhum ayahnya.
Keluarga Erin berasal dari latar belakang berkecukupan, tetapi sebagian aset mereka telah berpindah tangan. Erin mewarisi rumah tersebut, beserta sejumlah dana yang ia gunakan untuk kebutuhan hidup dan keadaan darurat. Saya hanya dapat memberikan apa yang saya miliki: sebuah rumah sebagai tempat tinggal sementara, serta dukungan yang saya berikan untuk merawat dan memenuhi kebutuhannya layaknya seorang ayah.
Saya merasa sangat bersyukur ketika Erin kembali menemui saya, meskipun pada saat itu ia tengah menghadapi kesulitan. Tatkala rumahnya terbakar, Erin kembali tinggal di rumah saya, ketika itu saya sudah tinggal bersama istri saya.
—Mengapa Erin tidak mempekerjakan pembantu sejak lama?
Wah! Pertanyaan Anda menarik. Pak Zul, Anda tahu kalau itu terkadang merepotkan. Menyewa jasa pembantu sama saja menambah pengeluaran lagi, dia mungkin ingin hemat. Lagi pula kita tak bisa memercayai orang asing begitu saja untuk bekerja di rumah kita. Semua tetangga tahu, kalau saya Ihwan, tidak pernah melarang Erin untuk mencari pembantu.
Saya juga tidak pernah menuntut akan harta dan warisan dari kakak saya. Sebab kami punya kehidupan sendiri—hanya saja memang kami terikat hubungan darah. Jadi sudah sepantasnya saya merawat Erin. Alasan Erin tidak mencari pembantu sejak awal, mungkin seperti kata saya tadi, ia ingin berhemat. Mengingat renovasi rumah setelah kebakaran juga tidak sedikit biaya yang dikeluarkan. Wah! Gila! Itu banyak sekali. Sedangkan kami hanya hidup biasa saja, semua mempunyai masalah dan beban masing-masing.
—Apa Anda tahu kalau Erin gemar minum minuman memabukkan?
Hah? Demi Allah! Saya tidak tahu. Saya tidak percaya itu.
—Bagaimana bila seandainya Erin melakukan kejahatan berupa pembunuhan?
Saya tidak akan memberikan keterangan lebih lanjut. Penjelasan saya hanya terbatas pada apa yang telah saya sampaikan sebelumnya. Mengapa tuduhan tersebut dialamatkan kepada Erin? Ponakan saya tidak mungkin terlibat dalam pembunuhan atau tindakan memalukan lainnya. Sungguh keterlaluan, meskipun itu hanya sebuah pengandaian. Kejahatan seperti itu sangatlah keji, dan saya yakin Erin tidak mungkin melakukannya. Saya mengenalnya dengan baik, bahkan sejak lama saya yang merawatnya dan menyaksikan setiap perkembangan dirinya.
***
“Hei, kau! Sedang apa di Madura?” Devi melambaikan tangan dengan ceria, senyumnya merekah saat menyapa pria itu.
Pria itu terkejut sejenak, sebelum akhirnya seulas senyum lembut terlempar untuk kami. Aku tak tahu siapa dia, jadi aku memilih untuk tetap diam, tak membalas senyumnya. Tak mengapa, tampaknya ia pria baik hati. Dengan langkah tenang, ia mendekati kami, wajahnya tampak teduh, masih dihiasi senyum tulus. Rambutnya sedikit ikal, menambah kesan hangat pada dirinya.
“Oh. Hai! Kebetulan sekali, saya ke sini karena ada keperluan. Bagaimana kabarmu, Neng?”
“Kabar baik. Senang melihatmu. Kau sendirian?”
“Syukurlah, senang berjumpa denganmu. Ya. Saya ke Madura sendirian.”
Logat pria itu sedikit asing, aku bisa menebak dia dari Sunda. Kalau tidak Bandung, mungkin dari wilayah lain di Jawa Barat.
“Pasti perjalananmu sangat melelahkan. Perkenalkan, ini temanku, namanya Erin.”
Devi memperkenalkan, barulah aku tersenyum tipis pada pria itu. “Erin.” Sembari aku mengulurkan tangan, begitu juga pria itu.
“Saya Yayan dari Bandung!” jawabnya ramah seraya menjabat tanganku.
“Salam kenal.”
Dari perkenalan itu, aku menyadari bahwa Devi ternyata memiliki banyak teman, meski aku sempat mengira dia seperti aku—jarang berinteraksi dengan orang lain. Dunia ini begitu luas, dan rasanya menyenangkan jika bisa memiliki teman dari berbagai penjuru negeri. Namun, aku selalu merasa malu, terlampau tertutup pada orang lain. Berkenalan, jika tidak mendesak, jarang sekali kulakukan. Seolah ada jarak yang menghalangi, meskipun aku tahu, dalam keramahtamahan itu ada kehangatan yang bisa didapatkan.
“Kau sudah makan?” Devi menanyai Yayan.
“Oh. Belum, tadi saya mampir restoran ini untuk menyerahkan dompet. Ada ibu-ibu berjalan ke dalam restoran, tetapi tak sadar kalau dompetnya terjatuh di pintu masuk.”