Selimut Ilusi

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #7

Mata yang Hampa

Dikecup keheningan subuh, terbawa angin alobar, ini sakit.

***

“Bau apa ini? Seperti bangkai? Uh, amat tak sedap baunya.” Devi menjepit hidungnya dengan jari telunjuk dan jempol tangan kanan, wajahnya tampak kesal.

Ia celingukan, matanya bergerak cepat, menatap selasar rumah sambil memutar badan, berusaha mencari-cari sumber bau aneh itu. Aku pun merasa sama, bau menyengat perlahan menusuk indra penciuman.

“Benar. Sepertinya tadi pagi belum ada bau begini. Ah, bau bangkai.” Ujarku.

Kami mengamati sekeliling, tak ada yang tampak ganjil, tetapi bau itu makin menyebar. Devi akhirnya melangkah ke arah jajaran pasu bunga dekat pintu masuk rumah. Pot-pot kecil berisi kaktus, bunga kertas, dan tapak dara, tampak biasa saja. Namun, Devi berjongkok, mengorek tanah permukaan pot dengan batu kecil dari samping pot.

“Erin! Apa ini?” Devi memekik, wajahnya berubah pucat. Ia menarik tangan, terlihat enek. “Ah! Bangsat! Baunya minta ampun, ini usus!” Teriakannya menggema, mengisi udara dengan ketegangan makin membuncah.

“Eh! Usus?”

“Iya! Jeroan berupa usus, ampela, jantung, kurasa jeroan unggas.”

“Mengerikan. Apa dibawa kucing liar?” aku melongok permukaan pot dari belakang punggung Devi, kami menutup hidung karena nyaris muntah.

Masalah jeroan berbau busuk akhirnya selesai, aku memasukkannya ke plastik lantas membakarnya di tong sampah. Kejadian itu benar-benar aneh. Kenapa ada jeroan membusuk di dalam pot bunga? Jika benar kucing liar membawanya, itu sudah keterlaluan. Aku terdiam, berpikir tentang kejadian tadi. Hari terus berlalu, kini Devi sibuk mencari hiburan dengan menonton film, tetapi lagi-lagi ia membuatku kesal dengan tingkah sembrononya.

“Kenapa filmnya tidak bisa diputar?” Devi bertanya dengan kebingungan. Matanya tajam memandang layar laptopku. Tanpa sabar, ia mulai memukul-mukul laptop itu, berharap laptop segera mengerti keinginannya. Aku menatapnya, merasa jengkel. Terkadang, kesembronoan Devi membuat kesal, tetapi bisa membawa warna di tengah kemelut hidupku yang makin menggelap bagai jelaga.

“Hei, bangsat! Apa yang kau lakukan. Jangan memukulinya, banyak data penting di laptop itu. Kalau rusak bisa repot nanti.”

“Ah. Maaf, kebiasaan memukuli kalau ada benda elektronik menjengkelkan atau rewel. Bahkan mesin cuci milik ibu juga aku pukuli sampai copot pintunya.”

“Bar-bar sekali, lebih baik kau mengambil kelas bela diri, pencak silat atau tinju sana.” Aku geram terhadap tingkah Devi karena makin menjadi-jadi dalam memperlakukan barang elektronik. Tampaknya aplikasi pemutar film di laptop bermasalah. Setelah menggunakan aplikasi pemutar lain, akhirnya film bisa diputar.

Kami berdua menonton sambil menyantap keripik singkong. Biasa, makanan ringan dari supermarket menjadi cadangan nyamikan kalau sedang bersantai.

“Kenapa banyak makanan ringan? Kau kolektor makanan ringan juga atau bagaimana, sih?” Devi keheranan saat melihat stok jajanan melimpah.

“Aku hanya mengoleksi barang antik. Makanan ini hanya persediaan kalau sedang bersantai.”

Dia mendengus. “Dasar. Kau dokter tetapi makan selalu sembarangan.”

“Mau bagaimana lagi. Susah untuk mengubah kebiasaanku.”

“Karena kau tidak terbiasa,” jawab Devi santai.

Lihat selengkapnya