Darah, darah, darah, darah, darah, dan darah. Membekulah.
***
Mataku berputar, nyalang memandang sekeliling dengan kegelisahan tak tertahankan. Degup jantung serasa bergemuruh, keringat membasahi tubuhku. Tanpa sadar, aku mengangkat kedua tangan, meraba leher dan masih terasa cengkeraman tangan Devi.
Aroma sabun milik Devi, menyusup tajam ke hidungku saat dia baru saja keluar dari kamar mandi. Sepertinya, ia mulai menyadari ada yang tidak beres.
“Kau kenapa, Rin?” tanya Devi sembari duduk di tepi kasur dengan gerakan santai, meski matanya tak lepas dari wajahku.
“Aku... tidak apa-apa,” jawabku terbata, berusaha menutupi kegelisahan. “Tadi aku cuma... mimpi aneh.”
“Mimpi apa?” Devi menatap penasaran.
“Pokoknya mimpi buruk,” sahutku cepat. “Katanya, mimpi buruk itu tak boleh diceritakan kepada siapa pun.”
“Oh. Baiklah. Hanya bunga tidur, sudah cuci muka saja sana. Mungkin kau terlalu banyak pikiran.” Meski Devi terlihat agak penasaran, tetapi untung ia tidak bertanya lebih lanjut.
Di rumahku Devi cuma tidur lima jam, dan saat ia bangun tampak seperti orang kekurangan oksigen. Butuh beberapa menit bagi tubuhnya beradaptasi, untuk menormalkan kembali detak jantungnya yang berdebar-debar. Ia berjalan menuju pintu depan, berdiri dekat pot bunga, berharap angin pagi bisa menenangkan kepala peningnya. Pundaknya terangkat seiring dengan tarikan napas panjang, mencoba mengisi paru-paru sepenuh mungkin.
Namun, tiba-tiba suara mengejutkan membuat tubuhnya tegang. Devi memekik kencang, tatkala seekor kucing liar berlari kencang dari dekat pot menuju gerbang, kemudian menghilang begitu saja dalam sekejap. Sesaat, semua rasa cemas dan ketegangan itu kembali menggantung di udara.
Aku berdiri di dalam rumah, mataku terfokus pada Devi. Di ruang tamu, gramofon itu masih terpajang di sudut ruangan, piringan hitamnya terhampar dengan rapi. Aneh, kenapa dalam mimpi tadi benda itu hilang? Apa aku terlalu mencintai benda koleksiku hingga takut kehilangannya, kemudian berujung mengalami mimpi buruk?
Benar, rumah ini dipenuhi koleksi benda-benda klasik, kebanyakan peninggalan mendiang orang tuaku. Saat pertama kali Devi menginap, ia sempat mencibir, terutama pada gramofon tua karena menurutnya seperti benda angker. “Ada hantu jahat yang menetap di sana,” katanya dengan nada sinis. Ah, betapa menyebalkan jika ada orang berani mengkritik benda kesayangan orang lain seenaknya!
Devi kemudian masuk, melangkah santai menuju sofa, lantas duduk dengan tenang. Ia menarik sebuah majalah dari lemari kecil di dekat meja gramofon. Kami saling menyapa dengan ucapan selamat pagi meski terasa begitu kaku, seperti orang idiot terjebak dalam kebisuan pagi. Devi duduk di sampingku, menarik napas dalam-dalam, sementara tangannya memegang majalah dengan erat.
“Pagi ini aku masih dalam masa cuti, karena banyak barang belum tertata. Niatnya ingin segera membereskan semua,” ucapku memulai percakapan lagi.
“Banyak barang-barang belum tertata, tetapi kau cenderung suka menunda-nunda sesuatu. Padahal tinggal beberapa hari lagi sebelum kembali ke rutinitas.” Sahut Devi.
“Ya. Sayang sekali, memang sulit jika sudah diliputi rasa malas. Tak masalah, beruntung ada dokter lain yang menggantikan selama aku izin.”
“Rumah yang baru saja selesai dipugar ini memiliki aura baru.” Devi berhenti membaca lantas sejenak menatap langit-langit rumahku.
“Hm, aura baru? Akan tetapi aku selalu gagal untuk melupakan kenangan suram di masa silam, ingatan itu berulang-ulang muncul. Masa lalu kelam pernah tersaji hingga aku ketakutan setengah mati.”