Selimut Ilusi

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #9

Antara Mimpi dan Kenyataan

Kalam dalam kelam, kesepian dalam kolam, istana megah kegelapan merongrong jiwa menjerat hati lapuk.

***

 

Aku tak menceritakan tentang mimpi yang memperlihatkan Devi mencekikku. Lagi pula, apa artinya itu? Tak ada guna bagi kepolisian, tak ada relevansinya dengan penyidikan. Kisah itu hanya ada dalam buku harianku, Devi pun tak pernah tahu detail mimpi itu—bahkan rincian dari mimpi tersebut kupertahankan untuk diriku sendiri.

Di hadapanku, Detektif Rohman menatap dengan mata tajam, tingkahnya selalu mengingatkanku pada kehebatan seorang pemecah teka-teki nyentrik. Rasanya, dia bisa mengumpulkan bukti hanya dengan menatap, mampu membaca tiap gerak-gerikku, seperti ia bisa meraba pikiranku—seolah ia adalah pria paling jenius di dunia, lebih unggul dari Sherlock Holmes sekalipun. Aku merasa risih dengan tatapan tajamnya, seakan bisa menelanjangi setiap lapisan dari diriku, mengungkapkan semua seolah tak ada yang bisa kusembunyikan.

“Terima kasih atas catatan yang Anda buat. Mengapa Anda lebih memilih menuliskannya, daripada mengungkapkannya dengan kata-kata? Apa bibir Anda sedang sakit? Bibir Anda tampak merah, bagai buah ranum, Dik.”

“Hei, Tuan Berengsek! Jangan merayu saya.”

“Tidak. Saya tidak merayu Anda. Lagi pula....”

“Anda terangsang—tatapan itu! Menjijikkan, saya tahu pikiran pria. Terlebih pria seperti Anda.”

“Jaga mulut Anda, saya rasa memang lebih bagus bila Anda memilih untuk menulis saja, lebih baik Anda mengunci bibir Anda. Rupanya Anda gemar merepet, berkata pedas, tajam, bagai petasan—saya tarik kata-kata bibir ranum tadi.” Rohman geleng-geleng.

Rohman, pemilik alis tebal yang tampak hampir seperti pedang tajam, menarik napas dalam-dalam. Sebelumnya, ia meminta penjelasan dariku mengenai Andre. Aku pun mengungkapkan tidak semua, mulai dari pertemuan pertama kami hingga alasan mengapa aku memilih untuk berkencan dengannya. Beberapa aku batasi, lagi pula itu ranah privasiku.

“Ada satu hal yang perlu Anda pahami, Detektif,” kataku, mencoba meyakinkan. “Andre tak ada kaitannya dengan kasus mayat pria yang saya temukan di tengah jalan, juga dengan kematian Bu Ani. Anda tak perlu mencurigai dia.”

Rohman diam sejenak, lantas dengan suara datar tetapi penuh penekanan, ia menjawab, “Semua bisa menjadi tersangka bahkan patut dicurigai. Informasi, gerak-gerik, bahkan hal-hal remeh atau kecil, semua harus diperhitungkan. Setiap jejak, setiap detail, patut dicermati untuk menemukan bukti konkret.”

Aku hanya bisa menghela napas pelan, merasa sedikit terpojok dengan ketegasannya. “Baiklah, baiklah,” jawabku, hampir tak berdaya. “Silakan lakukan tugas Anda. Semoga saya bisa segera lepas dari segala hal memusingkan ini.”

***

“Rumahmu besar sekali, Dok?” ucapnya.

“Jangan panggil dokter atau kencan kita batal.” Sahutku dengan nada setengah mengancam.

“Siap! Panggil apa?”

“Erin saja.”

“Kau yakin?”

“Ya.”

“Baiklah. Erin, kau mau duduk di depan atau aku di belakang?”

Lihat selengkapnya