Jangan bicara dalam diam, gaib itu ingar, mistik dalam kalbu, dari sang Dewa Kemalangan yang maha melihat, tetapi Dia tak terlihat oleh kami.
***
Tanganku gemetar, peluh menetes perlahan di wajah, sementara langkahku terhuyung-huyung, tak tentu arah. Bajuku kusut, seolah mencerminkan kekacauan yang ada dalam jiwa. Darah mengucur deras dari lengan kanan. Dunia seakan berputar, hanya ada sedikit sisa tenaga untuk bertahan. Sial, kerikil tajam di jalanan terasa menusuk-nusuk telapak kaki, menambah derita. Di mana sepatu hak tinggiku? Mungkinkah tertinggal di tengah kekacauan pertunjukan?
Kepala remuk itu masih terekam jelas di ingatan. Kasihan sekali nasib seniman itu, begitu tragis dan tak terduga. Panggung yang semula megah, tiba-tiba roboh, dan balok-balok besi menghunjam tubuhnya saat ia tengah berpantomim dengan begitu apik, seolah dunia pun berhenti. Sebuah opera berubah menjadi tragedi.
Mataku dari tadi melirik sekeliling, resah mencari Andre. Sejak panggung roboh menggetarkan tanah, ia tak tampak lagi. Padahal, sebelumnya, ia ada di sini, berdiri di antara kerumunan penonton, turut menyaksikan kekacauan yang tak pernah kami bayangkan.
Jalanan membentang seperti lorong panjang sunyi, kedua sisinya dihiasi pepohonan rindang, dengan cabang-cabang yang seolah merangkul langit malam. Cahaya kekuningan dari lampu-lampu jalan memantul lembut di permukaan aspal, memberi kesan seperti sepuhan emas terhampar di bawah sinar rembulan dan perlahan meredup. Tubuhku terasa goyah, langkah-langkahku terseok, sementara telapak kaki terasa seperti menginjak bara. Di kanan-kiri, hanya hening berselimut hampa, tak ada sosok manusia. Beberapa puluh meter di sebelah timur, sebuah taman bermain tampak sepi dengan gazebo kokoh beratap limas, seperti piramida kecil angker.
Kerongkonganku terasa kering, seperti padang pasir tandus membungkus setiap hela napasku. Andre, di mana kau? Dengan kebingungan, aku terus melangkah, meski rumah masih agak jauh dari sini. Kenapa jalan ini begitu sepi? Mungkinkah ini bukan jalan utama? Seharusnya ada kendaraan melintas, mobil polisi atau mobil pemadam kebakaran, setidaknya suara sirine ambulans harus terdengar, tetapi hanya ada keheningan. Tak ada orang lewat selain aku, sendirian terperangkap dalam kesunyian malam mencekam ini.
Sampailah di sebuah belokan. Ke arah kiri, sepertinya itu jalan menuju halte. Taman makin dekat serta mulai jelas terlihat. Lampu-lampu terang membuat mata silau, aku memicing hingga tampak bola-bola cahaya melayang-layang di udara. Di taman itu pasti ada keran air, setidaknya bisa membasahi kerongkongan. Makin dekat dengan taman, perlahan kakiku melangkah masuk dan pandangan tertuju pada gazebo. Di lantai gazebo yang terbuat dari ubin teraso, tampak ada sosok pria sedang duduk. Mungkin saja pengemis, atau gembel tak punya rumah untuk tidur.
Akhirnya, ada sebuah keran terletak berdekatan dengan tempat duduk melengkung berbentuk leter U. Tanpa pikir panjang aku mendekat untuk menyalakan keran tersebut. Untunglah airnya keluar. Diriku compang-camping seperti korban pelarian perang, disergap rasa haus, lapar, dan amarah, aku langsung mereguk air dari keran tersebut dengan rakus. Segar sekali rasanya.
“Erin!” tiba-tiba ada suara memanggil.
Sepertinya suara barusan berasal dari arah gazebo. Pria itu tadinya kukira tunawisma, ternyata mengenalku. Ia perlahan bangkit, langkahnya perlahan mendekat, wajahnya makin jelas terbias oleh cahaya lampu temaram. Sungguh mengejutkan, seakan jantungku tiba-tiba berhenti sejenak. Aku buru-buru mematikan keran, berusaha menyembunyikan kegelisahan. Rupanya itu Yayan. Bagaimana bisa ia ada di sini, malam-malam begini, duduk termenung di gazebo taman yang sepi? Pertanyaan itu muncul begitu saja.
“Ah. Kau ... kau kenapa di sini malam-malam?”