Selimut Ilusi

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #12

Bayangan Luka

Lamunan itu hilang, meluruh di balik bukit dan hanyut di sungai besar berarus ganas, terpendam dalam tanah pegunungan.

***

Aku terbelalak, mata nyalang menyisir sekeliling, lantas menyadari—ternyata ini di dalam rumah. Mimpi apa barusan itu? Sejenak aku terpaku, lantas buru-buru tanganku meraba dada, mencari-cari bekas luka tembak, atau apapun yang barusan kurasakan. Namun, tak ada apa-apa. Tak ada luka.

Namun, rasa itu—sangat nyata, menggetarkan, melukai dengan brutal—masih membekas di dalam tubuhku. Seperti es menembus dada, dingin dan tajam, menusuk sampai ke tulang. Segalanya masih begitu jelas dalam ingatan—panggung ambruk, kepala pecah, kejadian di taman, dan yang paling mengejutkan—ditembak Bu Ani. Kejadian-kejadian tadi berputar dalam benakku, layaknya potongan-potongan puzzle yang tak pernah benar-benar tersusun. Apa arti semua ini? Aku bahkan merasa seolah-olah tak pernah benar-benar bangun?

 Apa mimpi bisa bertahan lama dalam ingatan? Biasanya, setelah bangun tidur, mimpi itu seperti kabut yang perlahan menghilang, hilang begitu saja. Namun, belakangan ini, mimpi seolah meninggalkan jejak kental tak kunjung lenyap. Mimpi ketika Devi mencekik leherku—rasanya masih terasa mencekam di tenggorokan—serta mimpi barusan, nyaris membuat jantungku mencelus keluar dari kerongkongan. Semua itu terekam begitu jelas, seolah waktu tak cukup untuk menghapusnya. Meski memang ada beberapa kejadian yang sulit kuingat.

Tik-tik, tik-tik... suara jarum jam memecah keheningan. Masih pukul delapan pagi, rupanya aku ketiduran sesaat setelah Andre pulang. Aku terkejut, berusaha menenangkan napas yang tercekat. Sementara dunia di luar tetap memelesat, aku masih terperangkap dalam bayang-bayang mimpi tadi. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa semua itu terasa begitu nyata?

***

Pasien sudah membludak, setiap detik terasa begitu mendesak untuk segera ditangani. Di antara hiruk-pikuk itu, ada sebuah kejadian menyedihkan. Seorang pasien yang hendak bersalin, sebenarnya sudah menginap semalam di rumah sakit, kondisinya sungguh memprihatinkan. Tubuhnya tampak lemas, kesulitan bergerak, wajahnya menunjukkan tanda-tanda keletihan mendalam.

Perempuan itu ternyata terjangkit demam berdarah dengue, meski ia sendiri tidak merasakan gejalanya. Bukan hanya itu, komplikasi lain juga menyergap dirinya. Kondisi kehamilannya berada dalam ancaman serius, hal itu menjadi pertaruhan antara hidup dan mati.

Saat perempuan itu akan bersalin—ia masih bisa kontraksi. Namun—sungguh sangat disayangkan—bayinya sudah mati di dalam rahim. Beruntung bayi bisa keluar meski harus membelah perut si ibu, tetapi setelahnya sang ibu langsung kritis. Ia mengalami pendarahan hebat karena komplikasi dan demam berdarah yang ia derita.

Dari hidung, mulut, telinga, semua lubang di tubuh mengeluarkan darah. Perempuan itu langsung dirujuk ke ruang ICU, ia masih sadar meski sempat meracau dan berhalusinasi. Sekujur tubuhnya telah terpasang kabel. Nasib berkata lain, dua hari kemudian perempuan itu tak tertolong.

Kehilangan bayi, kini giliran ibunya yang menyusul pergi. Tak terbayangkan betapa hancur hati keluarga itu, terutama sang suami, karena harus menanggung penderitaan tak terperi. Melihat kesedihan begitu dalam di mata mereka, aku tak bisa menahan diriku untuk tidak mengingat orang tuaku. Mereka yang telah tiada, terbunuh di malam mengerikan itu, di malam yang masih terus menghantuiku hingga kini. Darah segar mengalir, bau amis menyengat, rasa lengket masih teringat jelas di setiap sudut memoriku—kenangan tersebut tak pernah benar-benar pudar.

Bahkan, kebakaran rumahku pun terasa tak berarti jika dibandingkan dengan kehilangan orang tua secara tragis. Ketika nyawa mereka direnggut dengan kejam, tak ada kata manis untuk menggambarkan betapa kosongnya dunia ini tanpa mereka. Setiap kenangan, setiap detik yang terlewat, selalu kembali ke malam itu—malam yang merampas segalanya.

Lihat selengkapnya