Kami hidangkan bola mata perawan dengan iringan kidung penuh sukacita.
***
“Dia memiliki nama pena. Setidaknya, kita punya itu sekarang sebagai tambahan informasi,” kata Zul, sambil menunjuk buku agenda yang tergeletak di atas meja, matanya menatap Rohman dengan serius. “Untuk catatan-catatan lainnya, berupa tulisan tangan, sudah ada yang akan menganalisisnya dalam tim. Kau dan aku kebagian dua buku agenda ini.” Ia berhenti sejenak, memastikan pesan itu tersampaikan dengan jelas. “Sisanya ada cerita yang dimuat di koran, dan tiga buku lainnya yang penuh dengan tulisan rancu, tak teratur. Rekaman video dari kakakmu juga akan sangat membantu dalam penyidikan kali ini.”
“Pak Zul!” Rohman menyela, suaranya penuh harap, meski terdengar sedikit nekat. “Saya tahu ini sangat lancang dan mendesak, tetapi izinkan saya menggeledah rumah Erin, atau setidaknya, saat dia pergi dari rumah."
Zul menatap dengan tajam, wajahnya mengeras. “Maksudmu? Hei, jangan gila! Kita harus mengikuti prosedur kepolisian, jangan bertindak sembarangan.”
“Saya yakin dia pelaku dari semua misteri ini! Meski banyak petunjuk tidak bisa ... bukan, maksud saya—belum bisa dibuktikan, tetapi pasti dialah pelaku kejahatan keji ini. Penemuan mayat di tengah jalan, juga kasus penusukan di rumah sakit!”
“Kau ingin menangkap seorang dokter begitu saja?”