Kau terbawa terbang menembus halimun menuju angkasa, dipandu derau air-air hujan yang turun tanpa mega-mega.
***
Rohman mempercepat langkahnya, meninggalkan Pak Zul di belakang. Tak lama, ia tiba di sebuah persimpangan jalan, menyeberang menuju lapak sate yang menyala remang-remang di sudut. Di sana, sang penjual sate terlihat kebingungan, tatapannya tertuju pada dua pria yang baru memasuki warungnya. Rohman dan Zul tidak mengenakan seragam polisi, hanya setelan hitam dan jaket kulit yang menyatu dengan gelapnya malam. Si penjual sate sadar, dengan wajah tak biasa dari dua orang bersetelan hitam tersebut, bahkan satunya bermuka garang penuh bopeng di wajah. Pak Zul menyodorkan kartu nama kepolisian.
“Anda Cak Bimo pemilik lapak ini?” ujar Zul.
“Benar, saya Bimo, pemilik lapak ini. Ada apa?” suaranya terkesan ragu.
“Maaf, kami hanya ingin berbincang sejenak dengan Anda. Sekaligus pesan sate,” jawab Zul, sambil melangkah mendekat.
“Bungkus atau makan di sini?” kata Bimo, sambil mempersiapkan tempat.
Mereka saling berjabat tangan satu sama lain.
“Saya Zul, ini rekan saya, Rohman. Kami memilih makan di sini, Cak. Dua porsi sate ayam—ditambah lontong. Minumnya es kopi satu gelas, dan tolong air putih segelas untuk saya,” jawab Zul dengan senyum hangat, seperti tak ada yang luar biasa dari permintaan itu.
“Baik. Lalu, apa yang ingin Anda bahas?” Bimo bertanya lagi, masih merasa penasaran.
“Maaf jadi mengganggu waktu Anda, kami ingin menanyai beberapa hal. Lapak juga masih sepi, kalau Anda tidak keberatan, bisa mengobrol bersama kami dahulu?”
“Ya. Saya siapkan pesanan kalian. Sambil bicara tak apa. Saya bisa menjawab—meski kadang mengurangi kosentrasi saya saat memanggang sate.”
“Tidak banyak, hanya beberapa pertanyaan. Saya jamin fokus Anda tidak akan hilang,” ujar Rohman menyela.
“Baiklah. Sate ayam, dua porsi, dengan lontong, ya?” sahut Cak Bimo.
“Benar. Lontong di sini khas, ya. Kebanyakan dibungkus menggunakan plastik, saya sempat ke Jawa Tengah serta beberapa daerah lain, lontong di sana dibungkus menggunakan daun pisang.” Pak Zul mulai berbicara tidak langsung pada topik utama, tetapi ia tak mau membuang waktu. “Ah, lupakan lontong-lontong dengan varian bungkusnya itu. Maksud kedatangan kami ke sini, hendak mewawancarai Anda beberapa hal, terkait pemilik rumah bergaya barat, dia seorang dokter muda. Namanya Erin.”
“Erin?” Cak Bimo langsung menyahut. “Saya kenal dia. Ada apa?”
“Ada kasus pembunuhan di rumah sakit tempat dia bekerja. Berita itu sudah menyebar, bahkan sudah muncul di televisi,” kata Zul dengan nada serius.
Bimo mengernyitkan dahi. “Saya jarang menonton televisi. Namun, saya sudah membaca tentang itu di koran. Kasus tersebut memang menghebohkan.”
Zul tersenyum tipis. “Benar, tidak semua orang menonton televisi, dan tidak semua orang membaca koran di zaman sekarang. Namun Anda berbeda. Kami merasa beruntung bisa menemui Anda langsung. Kami sedang berusaha memahami mengapa penusukan di rumah sakit itu bisa terjadi. Fokus penyelidikan kami saat ini adalah Erin, karena dia ditemukan pingsan di samping tubuh sang korban.”