Sampaikan pada awan-gemawan di angkasa, pada ombak berpuntal-puntal di lautan yang mengamuk, kau lupa memijat nadimu.
***
Kau bagian dari kehidupan manusia, terpisah dengan rapi dalam tatanan alam, sesuatu yang tak bisa diterima logika. Mungkin perempuan gotik hendak berkata begitu, betapa sulit mencari celah untuk memahami sesuatu di bumi ini, seakan setiap pencarian hanya berujung pada rasa penasaran baru. Semua terasa begitu runyam, tumpang tindih tanpa titik terang. Ada kala, sesaat, kau meyakini ada angin segar di hidup, seolah mencoba menyeimbangkan jiwa yang berantakan. Namun, berpikir jernih amat sulit—tentang kebahagiaan, tentang ketenangan—semua seperti kabut, mengaburkan pandangan, menjauhkanmu dari pemahaman.
“Kau bisa mengungkapkan semua keluhmu.” Ucap perempuan gotik.
“Tidak ada keluh kesah.” Sahutmu.
“Pasti banyak.”
“Untuk apa bercerita padamu, kau tak akan bisa membantu.”
“Jangan sungkan, atau jangan meremehkan. Ayolah.”
“Tak ada yang bagus.”
“Setidaknya ceritakan hidupmu sedikit.”
Kau tak tahu harus bilang apa, tetapi perempuan gotik tersebut agaknya punya maksud tersembunyi.
“Jangan membuang-buang waktu. Pergilah, jangan datang lagi.” Kau memohon.
“Bagaimana kebahagiaanmu? Pasti ada saat-saat gembira hingga membuatmu ingin kembali ke masa itu, kan?”
“Ah?”
“Masa-masa bersama orang tuamu.”
“Jangan bahas orang yang sudah tiada.”
“Ceritakan saat ayah ibumu bersamamu, ketika orang tuamu memelukmu, tertawa bersama, kenangan itu pasti masih ada, bukan? Erin, ayolah.”
“Kau ini siapa? Itu tentang hidup pribadi, tak baik berkisah pada perempuan asing sepertimu.”
“Maaf, kau harus tetap memberitahukan semua kenangan indahmu.”
“Untuk apa? Supaya kau bisa mengejek?”
“Sungguh, tak ada maksud begitu. Kau bilang ingin bukti, dengan memberi bantuan padamu, maka bukti itu akan terlihat.”
“Bantuan? Semacam sembako, begitu?”
“Jangan konyol, tentu bukan. Bantuan untuk dirimu sendiri.”
“Baiklah, satu kisah saja, kau harus lenyap dari sini setelah mendengar cerita tentang ayah dan ibu.”
“Lekaslah bercerita, jangan sungkan.”
***
Erin masih terpenjara dalam mimpinya, terjebak dalam pusaran dunia yang tak bisa ia pahami sepenuhnya. Di tengah kegelapan dan kekacauan itu, ia berusaha mencari jalan keluar. Perempuan dengan dandanan gotik itu memiliki tatapan tajam penuh teka-teki, seperti mengetahui lebih banyak dari yang bisa Erin pahami.
Dalam keheningan, Erin mencoba berbicara, berharap bisa menemukan kebebasan dari dunia yang seolah-olah hanya ada dalam mimpi. Mimpi ini adalah penjara, dan perempuan gotik itu mungkin adalah kunci untuk membebaskannya—atau malah makin membelenggunya dalam kebingungan tak berujung. Lagi-lagi Erin mengubah sudut pandangnya, dari tulisan di atas dengan sudut pandang orang kedua mendadak ia berkisah dengan sudut pandang orang pertama.
***
“Ini begitu berat, tetapi memang ada kisah indah, begitu bermakna hingga melahirkan kebahagiaan. Kejadian ini bermula saat kami dari rumah saudara di Surabaya. Kala itu, aku, ayah, dan ibu bersama-sama mengunjungi mereka. Kami menaiki mobil merah—mobil itu cukup gagah, dengan bodi mengilap, mampu mencerminkan sinar matahari. Ayah yang menyetir, tangannya mantap menggenggam setir, sementara aku duduk di kursi belakang, di samping jendela. Ibu duduk tepat di samping ayah, matanya sesekali melirik ke arahku, memberikan senyum penuh kasih.
“Kami dalam perjalanan pulang menuju Pamekasan, melewati pelabuhan dan menaiki kapal penyeberangan. Saat itu, belum ada Jembatan Suramadu. Laut lepas tampak begitu luas, seperti pembatas antara dua dunia—Jawa dan Madura. Kapal bergerak pelan, menembus gelombang dengan suara mesin mengentak pelan di tengah ributnya angin laut. Ya, memang jembatan Suramadu kini sudah berdiri kokoh, panjang, bagai tubuh ular gigan, membentang di atas laut, menghubungkan dua pulau yang seakan terpisah oleh waktu. Sebuah kemajuan yang mengubah segalanya, tetapi kenangan akan perjalanan di atas kapal tetap hidup, terukir dalam ingatanku dan tak akan pudar.
“Suasana cukup damai, kami bersantai di dalam mobil saat kapal menyeberang lautan. Kisah ini terjadi saat aku masih SMP, tentu menjadi kenangan paling menyenangkan bersama kedua orang tuaku. Dengan mobil pribadi, piknik keluarga, kami melintasi lautan di atas kapal raksasa yang mampu mengangkut mobil kami menuju Madura. Saat kapal mulai mendekati daratan, ada perasaan hangat menyelimuti—perasaan rumah, meski kami masih jauh dari rumah.
“Sesampainya di Madura, ayah memacu mobil beberapa saat lagi sebelum akhirnya berhenti di sebuah restoran sederhana, tetapi menyajikan hidangan yang menggugah selera. Kami duduk, menikmati suasana hangat. Aku dan ibu memesan soto Madura yang terkenal lezat itu, harum kaldu menggoda hidung, sementara ayah memesan gulai kambing, dengan aroma rempah begitu kuat. Kami makan dengan lahap, berbincang ringan, tawa yang mengalir begitu alami. Keceriaan itu benar-benar tak akan hilang dari ingatan—sebuah kenangan manis, mereka harta paling berharga untukku.”