Selimut Ilusi

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #20

Mengurai Benang Merah

Kau berbicara tetapi bisu, kau berdiri tetapi tak berpijak, bahkan dirimu menangis tanpa air mata.

***

“Ini, sebuah catatan tentang pembunuhan di rumah sakit yang terjadi empat hari lalu. Ditulis oleh Erin pada malam kejadian, tak lama setelah peristiwa tersebut. Aku mendapatkannya ketika datang bersama Deni ke rumah Erin, untuk memberitahukan perihal insiden di tempatnya bekerja,” ujar Pak Zul, suaranya tenang.

Rohman terdiam sejenak, pikirannya penuh sesak dengan pertanyaan.

“Baiklah, saya akan membacanya. Hardiansyah yang menangani naskah ini untuk dianalisis, kan?” tanya Rohman, mencoba mengurai misteri.

“Benar. Ini adalah analisis dari Hardiansyah. Ia menyimpulkan bahwa setiap tulisan yang Erin buat, setiap kata yang dicatatnya, adalah seperti mimpi lain yang terjalin di dunia ini. Atau lebih tepatnya, Erin seakan hidup dalam dua dunia—dia bermimpi, dan dalam mimpi itu, dia juga menjalani hidupnya.”

“Hah?” Rohman terkejut, masih mencoba menyelami makna di balik perkataan Pak Zul.

“Ya, baca saja sendiri,” jawab Pak Zul dengan senyum tipis.

“Baiklah, terima kasih, Pak,” ujar Rohman, mengambil naskah itu dengan perasaan penuh tanda tanya.

***

Suara guntur menggelegar di luar, mengguncang kesunyian yang makin pekat. Gelap, sangat gelap, seolah siang dan malam bersatu dalam satu kesuraman tak terbayangkan. Jika aku membuka mata, mungkin itulah yang akan tampak—keadaan kelam.

“Hanya ini riwayat pemeriksaan yang Anda miliki?” suara seorang pria terdengar begitu dekat, tetapi samar, seperti berasal dari kegelapan itu sendiri.

Aku tak mampu membuka mata, hanya saja telinga masih bisa menangkap suara-suara itu, dibalut suara deras derau hujan di luar. Apakah aku masih tak sadarkan diri? Tunggu... mungkinkah ruangan ini yang terlalu gelap? Ah, memang benar, aku masih tak bisa menggerakkan kelopak mata.

“Ya. Hanya itu data yang saya punya. Anda akan terkejut sendiri jika melihatnya langsung—lebih parah dari yang Anda bayangkan!” jawab suara perempuan dengan nada sayup-sayup, jadi terkesan menambah misteri dalam ruangan.

Tunggu... suara perempuan barusan terdengar begitu tidak asing. Ya! Itu suara Dokter Friska. Kenapa dia ada di sini? Setelahnya, hanya ada kesunyian, terhanyut oleh suara hujan deras, sementara percakapan menghilang begitu saja.

Dokter Friska, psikiaterku, wanita berwajah oriental, dengan kulit putih bersih, tubuh proporsional. Perangainya menyenangkan, penuh empati, tetapi juga penuh ketegasan. Tentu, aku belum pernah bercerita kepada siapa pun, bahkan kepada Devi, tentang masalah aneh ini. Aku menemui Friska dan berkonsultasi masalah mentalku.

Lucu, bukan? Seorang dokter kini harus ditangani oleh dokter lain. Parahnya, aku justru ditangani oleh seorang psikiater—dokter yang biasa menangani pasien dengan masalah kepribadian, suka mengamuk, dan gangguan mental lainnya. Namun sejauh ini, aku merasa baik-baik saja.

Namun, setiap malam rasa gelisah makin menghantuiku. Tangan gemetar tak bisa kuendapkan. Pupil mataku mungkin sudah sebesar biji wijen karena cemas tak kunjung reda. Terkadang, keringat dingin merembes dari tubuhku, membuatku merasa lemas, seolah tenagaku terisap habis begitu saja.

Sebelum Devi menemukan jeroan di pot bunga, sebetulnya sekitar tiga minggu sekali pasti ada potongan jeroan unggas atau bahkan jeroan kucing yang tergeletak di depan rumah. Entahlah, apakah itu jeroan kucing atau anjing, yang jelas itu adalah organ dalam binatang berkaki empat.

Friska, dengan ketelitian khasnya, menggunakan metode wawancara untuk menggali lebih dalam tentang diriku. Bahkan, ia merekam setiap aktivitasku selama dua malam ketika aku menginap di rumahnya, sebagai bagian dari proses pemeriksaan yang ia lakukan. Setiap detail dari tingkah laku dan kata-kata yang terucap dicatat, seolah ia ingin memahami sisi lain dari diriku yang bahkan aku sendiri kesulitan untuk mengerti.

***

Sesampainya di rumah, Andre langsung menjenguk. Entah kenapa, aku tak menghubungi Devi, malah justru memberi kabar pada Andre. Perlahan aku menyandarkan punggung di sofa, menarik napas panjang, dan mencoba mengingat kembali kejadian mengerikan itu. Seorang bocah laki-laki di rumah sakit, yang tiba-tiba ingin menyerangku dengan pisau.

Tepat di tangan kanan lengan bawah, ada bekas luka sayatan yang terbalut perban. Sepertinya ini bukan sekadar mimpi. Kenapa Dokter Herman tak percaya kalau ada seorang anak kecil—anak laki-laki itu—jelas berusaha menyerangku dengan pisau. Bahkan para suster pun tidak tahu apa-apa tentang bocah itu. Mereka hanya bilang, mereka menemukanku sedang histeris, lantas aku pingsan. Semua terasa kabur, seperti hilang dalam halimun.

Ada yang ganjil, setiap kali mencoba bertanya pada Dokter Herman, justru ia memandangi dengan tatapan aneh. Ia seperti melihat hantu, canggung, ia sering bicara terbata-bata. Apa ia gagu? Tidak mungkin, apakah ia sungkan karena merawat dokter? Dokter merawat dokter, apa ia enggan melakukan itu? Mungkin saja.

Andre baru saja ke dapur, dan kini kembali menemaniku. Ia membawa segelas air putih. “Minumlah, aku akan menemanimu sampai kau merasa lebih baik,” ucapnya dengan suara lembut.

Gelas kaca berkilau memantulkan cahaya, sementara air di dalamnya tampak begitu bening, seolah mengundang untuk diminum. Sepertinya, mulai sekarang aku memang harus lebih banyak minum air putih.

“Terima kasih,” kataku, menerima gelas itu dengan tangan sedikit gemetar.

Lihat selengkapnya