Jari-jemariku menari di atas khayalanmu sebelum semua jari ini lenyap bersama sakit dari kawananku.
***
“Dia memberikan tulisan ini padaku setelah sesi terapi terakhir. Tiga hari lagi, baru kami akan bertemu kembali.” Kata Friska, suara lembutnya mengalun.
“Begitu, ya? Baiklah. Kalau dia mulai bertingkah aneh, kabari aku,” jawab Rohman, segera melangkah terburu-buru.
“Serahkan padaku.” Friska tersenyum tipis, matanya berbinar penuh arti.
“Ya, itu saja. Aku harus kembali ke kantor.”
“Selamat bertugas, Bos!” Friska tampak riang.
“Hentikan,” kata Rohman, menggelengkan kepala.
“Pak Detektif Keren, deh!” Friska membalas, senyum nakalnya tak pernah hilang.
Rohman hanya melengos, tak peduli dengan tingkah Friska yang terkadang seperti anak kecil.
***
Catatan dan Ingatan Erin
Sebelum kejadian di rumah sakit, aku kira akan lama tidak kembali ke sana. Namun, karena masih ada waktu luang, rasanya lebih baik jika aku menyempatkan diri sekarang juga. Mungkin ini kunjungan yang paling sering, karena belum genap sebulan sejak kunjungan terakhir, tetapi entah kenapa, aku sudah rindu untuk bertemu Paman Ihwan lagi. Aku membayangkan, di sana Paman pasti sedang sibuk berkebun. Paman memang suka sekali menanam singkong. Kabupaten Sumenep tidak begitu jauh dari Pamekasan, jadi aku memutuskan untuk menggunakan mobil. Hanya membawa tas kecil dan sebotol air mineral, karena niatku memang hanya mampir sebentar, bukan untuk menginap.
Sesampainya di rumah Paman, aku langsung disambut olehnya dengan senyum hangat.
“Wah! Bagaimana kabarmu?” tanyanya, wajahnya cerah seperti biasa.
“Baik, Paman!” jawabku sambil menenteng tas kecil.
Rumahnya sederhana, tetapi rapi dan nyaman dipandang. Suasananya mengingatkanku pada masa-masa ketika dahulu tinggal di sini. Di belakang rumah, ada kebun yang meski tidak terlalu luas, penuh dengan tanaman yang Paman rawat dengan penuh kasih. Singkong, kunyit, bayam, jahe, dan serai semuanya tumbuh subur. Paman memang selalu senang berkebun, seolah itu adalah cara hidupnya.
“Mari masuk. Wah! Ini sedang libur atau bagaimana?” tanya Paman sambil tersenyum lebar.
“Iya, kebetulan libur satu hari. Besok sudah harus bekerja lagi,” jawabku, sedikit menghela napas.
“Wah! Wah! Dokter cantik ini sibuk sekali,” Paman terkekeh.
Paman Ihwan memang punya ciri khas tersendiri setiap kali berbicara. Ketika terkejut atau mengungkapkan kekagumannya, ia tak pernah lupa mengucapkan kata ‘wah’. Misalnya, “Wah, bagus sekali!” atau “Wah, luar biasa!” Begitulah Paman, dengan gaya bicaranya yang khas, selalu ramah dan penuh semangat. Cara bicara Paman membuatnya mudah diingat oleh siapa saja. Terkadang, ketika berbicara menggunakan bahasa Madura, Paman makin unik dengan kebiasaan lebih khas lagi.
Biasanya orang Madura akan menggunakan pengulangan satu suku kata di depan. Misalnya, te sate! Paman berbeda, dia sering mengulangnya menjadi dua kali pada suku kata depan. Te te sate! Artinya satenya. Jika orang Madura hanya mengucapkan kalimat ‘Buka labengnya’, Paman Ihwan akan mengucapkannya berbeda. Ia mengucapkan jadi ‘Ka ka buka labengnya’. Artinya buka pintunya.
Aku di rumah paman hanya sekitar tiga jam. Setelah itu pamit untuk kembali lagi ke Pamekasan. Karena teringat dengan pria bernama Andre yang kukencani semalam.
“Sudah tidak apa. Gunakan saja untuk keperluan Paman. Membeli pupuk, atau apa saja. Tolong diterima.”
“Wah! Tidak, ini terlalu banyak.”
“Itu tidak sebanding dengan kebaikan Paman selama ini. Aku pamit pulang dahulu, kapan-kapan akan mampir lagi.”
“Baiklah. Terima kasih. Semoga selalu sehat dan lancar rezekinya.”
Meskipun awalnya ia menolak saat aku memberinya uang, aku tetap bersikeras. Tidak banyak, hanya sedikit sebagai bentuk bantuanku, atau mungkin bisa menambah tabungan Paman. Niatku sederhana, hanya ingin sedikit meringankan beban, karena Paman telah bekerja keras membesarkan dan menyekolahkan aku selama ini.