Selimut Ilusi

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #22

Tarian Takdir

Senyumanmu adalah tombak mematikan, beri tahu cara untuk menghilangkan rasa sakit yang membuat dada sesak dan menderita.

***

Sudah satu hari berlalu sejak Sanjaya menyelami dan menganalisis blog milik Erin. Blog itu bertema tulis-menulis, seolah memancarkan sebuah perjalanan panjang. Beberapa unggahan dari tahun 2013 hingga 2015 penuh dengan tips dan trik menulis misteri atau thriller, penuh misteri yang menggugah rasa kepo. Kemudian, di tahun 2016, datang cerita-cerita pendek roman dibumbui oleh elemen misteri—kisah cinta itu terkesan menjijikkan, seperti tahi kucing yang tak sengaja terinjak sepatu pak polisi. Namun, setelah itu, unggahan berhenti. Erin seolah menghilang dalam rentang waktu antara 2017 hingga 2019, meninggalkan blog begitu saja. Barulah pada awal 2020, ia kembali menulis—satu cerpen saja, teramat sederhana tetapi menggantungkan banyak makna.

Sanjaya, pria jangkung berambut tipis, berhidung pesek, dengan mata yang seakan tak pernah tidur sejak lahir, akhirnya menyelesaikan analisisnya. “Menurut saya,” ujarnya dengan suara agak berat, “blog ini cukup unik. Erin menulis di bawah nama pena dengan sebutan Rian Nawasena, menciptakan karakter-karakter aneh tetapi cerdas dalam setiap tulisannya. Tema yang sering diangkat adalah misteri—seperti kisah-kisah dalam dunia fiksi kriminal. Bisa jadi, Erin terinspirasi oleh tokoh-tokoh fiksi legendaris seperti Auguste Dupin, Sherlock Holmes, Miss Marple, atau bahkan Detektif Conan. Namun, tulisan-tulisan Nawasena terkesan penuh dengan keputusasaan. Sepertinya, ia pernah berada dalam jurang gelap keputusasaan, bahkan mungkin saja pernah terlintas niat untuk mengakhiri hidupnya. Biasanya, orang dengan tingkat depresi tinggi. memiliki keinginan besar untuk bunuh diri. Erin mungkin mencoba menekan perasaan itu dengan menulis, menjadikan menulis sebagai pelarian, ia menuangkan keresahan di tulisannya.”

Rohman menarik napas panjang, kemudian berkata dengan pelan, “Kukira dia telah menyerahkan jiwanya kepada iblis, seperti seorang penulis bayangan yang menjual karyanya untuk penulis lain. Namun, jika aku berada di posisi Erin, aku tentu tidak akan memilih jalan itu. Aku lebih memilih menyembunyikan identitasku di balik nama pena, seperti yang ia lakukan. Nama-nama yang dipilihnya, Rian Nawasena dan Angelina Sado, adalah cerminan dari dualitas, lelaki dan wanita. Aku tak bisa mengerti, mengapa Erin begitu gelap hatinya, jika ia hanya ingin bermain-main dengan kegelisahan dan kegilaan.”

Sanjaya mengangguk, lalu melanjutkan dengan suara lebih tegas, “Namun, satu-satunya tulisan yang terbit pada tahun 2020 itu seakan sebuah kelanjutan dari tulisan di buku agenda, judulnya Perempuan yang Terpenjara dalam Mimpi. Anda sudah memeriksanya, bukan? Sebab, buku catatan lainnya tak setebal itu—hanya berisi puisi-puisi dan resep obat-obatan semata. Sedangkan ini tulisan terakhir di blog itu, tulisan yang ditinggalkan oleh Erin, atau lebih tepatnya, oleh Rian Nawasena. Silakan, Pak Rohman. Anda bisa membacanya.” Sanjaya menggerakkan tetikus, menggulir layar komputer, menampilkan judul Tarian Takdir di blog milik Nawasena.

Tarian Takdir

Oleh Rian Nawasena

 

Dia tidak menyadari, tetapi harusnya ia paham—bahwa bahaya sedang mengintai. Aku memintanya untuk mundur, tetapi dia tetap bergeming. Alih-alih menanggapi lambaian tanganku, dia malah merentangkan kedua tangan lebar-lebar, seolah menentang langit. Apa yang sedang ada dalam pikirannya? Hanya satu pertanyaan yang terngiang dalam benakku, apa maksudnya? Malam itu begitu dingin, tetapi dia tampak bercahaya, tersinari rembulan tinggi di atasnya. Perempuan gotik itu berdiri di sana, seolah siap melakukan loncatan dari tebing—ya, setidaknya dia ingin terjun.

Lihat selengkapnya