Teruslah meniti jerat maut dari tabir kusam.
***
“Kau siapa? Dasar iblis!”
Mimpi tentang Devi yang mencekik leherku masih terpatri jelas dalam ingatan, dan makin banyak peristiwa ganjil yang sulit dimengerti, hidup ini seperti menisik pakaian sobek, lalu sobek lagi, tisik lagi, dan kembali sobek, hingga akhirnya hancur tak dapat dipakai. Hidup terasa seperti terperangkap dalam pusaran gelombang ganas tiada henti-hentinya menerjang.
“Apa Anda sudah memastikan kalau itu adalah Devi?” suaraku sengau dan berat.
“Ya, kami sudah memastikannya. Perawat itu tidak bekerja di rumah sakit, melainkan di puskesmas. Hanya Anda yang dekat dengan Devi, mungkin Anda bisa memberi petunjuk untuk kami,” kata Pak Zulkifli dengan lembut, mendekat dan berusaha membantuku duduk di sofa. “Dapur. Saya akan ke dapur, mengambilkan minum untuk Anda.” Ujarnya.
Aku hanya mengangguk lemah, dan ia pun melangkah ke dapur. Sementara itu, rekannya yang bernama Deni baru saja meletakkan gawaiku yang terjatuh, meletakkannya di samping cangkir kopi. Pria itu mengangkat cangkir dengan hati-hati, menyesap kopi perlahan, lalu kembali meletakkannya di atas meja dengan ekspresi penuh tanda tanya.
“Tenanglah, Dik! Saya harap Anda bisa mengatur napas terlebih dahulu. Saya mengerti keadaan Anda.” Ucap Deni dengan suara lembut tetapi tegas. “Kami telah meningkap hasil olah tempat kejadian perkara. Bahkan, di sana juga tak ditemukan cara pelaku masuk atau keluar. Maaf jika harus lancang, hal ini membuat Anda otomatis tersudut dan berada pada posisi yang bisa saja sebagai pelaku. Mengesampingkan hal itu, mungkin bisa saja ada orang lain yang memang mempunyai kunci cadangan dan melakukan pembunuhan tersebut.”