Kesepian ini akan terus tumbuh, makin kuat menjerat lehermu.
***
“Bajumu masih bagus-bagus, boleh pinjam kaus biru ini saja. Lagi pula aku lupa bawa kaus bersantai, tak apa?”
“Silakan. Pakai saja, pilih mana yang paling kau sukai, Dev.”
“Ah! Thanks, Erin! Kau tak bilang padaku sejak kapan mengencani penjaga rental kaset itu?” Devi merentangkan kaus yang hendak ia kenakan.
“Tidak penting juga. Dan memang kami berkencan beberapa kali, dia cukup ramah, kurasa sejak aku mengembalikan kaset ke tempat rentalnya pada bulan lalu.”
“Oh! Kau tak bisa menilai lelaki ramah atau apa pun begitu saja.”
“Namun pancaran matanya teduh, seakan senyumnya juga begitu tulus ia lemparkan padaku.”
“Hei! Kau ini! Tak seharusnya memercayai senyuman pria begitu saja.”
“Kenapa memangnya?”
“Dia baik? Memperlakukanmu selayaknya putri?”
“Iya. Dia gemar berkelakar, dan lembut padaku.”
“Nah! Maka dari itu! Jangan memercayai senyuman seorang pria begitu saja, bahkan pria dengan senyum paling lebar dan terkesan tulus, pasti ia menyembunyikan duka yang begitu dalam. Dia membohongi dirimu, dia pasti datang dari tempat keras dan penuh kisah pilu.”
“Ya. Memang benar. Dia bukan dari kalangan kaya dan berjuang keras demi hidupnya. Jadi, kurasa dia memang tulus.”