Selimut Ilusi

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #30

Suara

Aku mendulang sakit, merawat harapan, menggenggam kedamaian di pinggir mangkuk kesedihan.

***

Ruangan ini pengap, sempit, dan kurang cahaya. Di setiap sudutnya terdapat perkakas usang yang berserakan, sarang laba-laba menghiasi dinding yang gelap. Mataku terbeliak, hanya ada satu lampu remang-remang yang memberi sedikit cahaya. Kenapa aku bisa berada di sini, dalam kondisi tangan terikat kain? Tambang? Ya, tubuhku terikat tambang, meringkuk di lantai dingin dan kotor, penuh debu. Kaki terikat kain. Ruangan ini terasa begitu familier—ini gudang, gudang di rumahku. Namun siapa yang melakukannya?

Niat hati ingin meronta, tetapi tenaga terasa begitu lemah. Mulutku terlakban, dan aku hanya bisa terdiam dalam kebingunganku. Apa yang sedang terjadi? Rasa perih mendera di sekujur tubuh—wajah, tangan, lengan, kaki, perut, paha—semua terasa perih dan pegal. Aku mencoba mengejan sekuat tenaga, namun suara tak bisa keluar karena mulutku terbungkam lakban. Kenapa seluruh kulit terasa terbakar? Andre... Di mana dia? Kenapa dia tak ada di sampingku?

Aku sering cemas dan merasa ada orang yang selalu mengikuti. Bahkan di dalam kamar seperti ada sepasang mata yang terus mengawasi. Ketakutan demi ketakutan membuatku menjadi tak tenang.

Siapa? Siapa yang bicara? Aneh, aku yakin ada suara perempuan yang terdengar. Namun, tubuhku terasa begitu berat, sulit digerakkan, hanya bisa meringkuk di lantai dalam keadaan terikat, tak berdaya.

Aku tak suka makan telur dan daging. Mereka amis dan membuat kentut bau. Namun, aku dipaksa mengatur pola makan karena aku atlet lari dan butuh nutrisi. Sepertinya aku harus menciptakan obat kuat yang bisa membuat stamina abadi.

Huh! Suara siapa lagi itu, kenapa membahas telur dan daging—atlet? Siapa yang atlet lari?

Lihat selengkapnya