Aku memesan secangkir ramuan cinta bercampur bisa cobra emas yang diaduk dengan keresahan.
***
—Bebek Anda dicuri dan disembelih oleh Erin?
Benar! Anda boleh percaya atau menganggap saya pembual. Namun tidak, saya Hamzah, tak seperti itu, Cong! Cong Deni! Anda pasti mengerti. Ah, ya! Cong Rohman! Anda ingin minum apa? Hah? Tidak mau minum. Baiklah, Cong Deni dan Rohman, kalian dari divisi pembunuhan. Apa? Oh, Cong Rohman detektif. Baiklah-baiklah, saya tak paham apa itu detektif, kalau efektif saya paham.
Begini, Tuan Polisi, saya akan menceritakan sebuah kisah yang tak sekadar tentang harta atau peliharaan, tetapi tentang sebuah pengkhianatan yang melukai hati. Erin, dia memang mengambil bebek saya, itu tak terbantahkan. Bahkan, malang sekali, Bu Ani—tetangga saya yang baik hati—tewas di rumah Erin. Bu Ani sempat melihat dengan mata kepala sendiri saat Erin tengah menangkap bebek saya, dan meskipun begitu, Erin tetap bungkam, tak mau mengakui perbuatannya.
Tuan Polisi, Anda sekalian sebagai kacong[1] Madura harus paham. Saya tahu, Tuan, ini bukan hanya soal bebek itu. Ini soal kejujuran yang hilang, soal kepercayaan yang hancur. Erin, ia telah mencuri bukan hanya sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali. Bahkan, dia pernah membawa kucing milik cucu saya—cucu perempuan saya yang masih kecil, yang hanya bisa menangis karena kehilangan. Betapa pedihnya melihatnya begitu.