Bernyanyilah, dalam keheningan, berteriaklah dari hati
***
Andai punya insting tajam, bernaluri buas bagai binatang liar, aku tak bisa lagi memungkiri segala fakta buruk, semua teramat pelik mendera hidup ini, nyata, terkesan membawa teror tak berujung. Ibarat tukang jagal, bukan bualan semata, sebab seorang penjagal binatang pasti amat lihai dalam pekerjaannya, membuang perasaannya jauh-jauh. Penjagal hewan kurban, penjagal hewan-hewan yang disembelih lantas dagingnya dipasarkan.
“Hari ini kau akan belajar hal baru.” Perempuan gotik berambut panjang muncul. Ia berbeda dengan dua perempuan sebelumnya.
“Belajar apa?”
“Perhatikanlah tukang jagal itu. Dia tampak sedang berjuang menyembelih sapi.”
“Kenapa?” pemandangan di depanku memanglah sebuah pasar—Pasar Kolpajung yang terpampang, lantas berganti tempat menjadi seperti kebun di belakang rumah seseorang. Terlihat sosok pria tengah berusaha menyembelih sapi, tukang jagal itu dibantu delapan orang.
“Mereka akan menyembelih sapi, karena memang pedagang sapi. Dan dagingnya akan ada di pasar, toko, warung, atau pancimu.”
“Lantas apa pelajarannya?”
“Tirulah. Cobalah menyembelih sapi-sapi itu.”
“Gila! Mana mungkin aku bisa melakukannya.”
“Baiklah, kau sembelih ini saja.” Perempuan tersebut mengeluarkan seekor kucing dari karung.
“Hah!? Jangan gila! Tindakan itu salah, aku tak mau menyembelih kucing.”
Perempuan gotik memasang wajah garang, seperti penyihir jahat hendak merapalkan satu mantra kutukan mengerikan. Ia memelesat, mencekik leherku dengan tangan kiri, kemudian tangan kanannya mengepal, dengan cepat menghunjamkan tinju kuat tepat di ulu hati hingga keluar lenguhan dari mulutku dibarengi perasaan ingin muntah.
“Turuti saja perintah ini atau kuhabisi dirimu.” Ia mengancam.
Dengan terpaksa aku menuruti kemauannya, meski tidak tega, tanganku berhasil menyembelih kucing tersebut.
“Kuliti, potong-potong, ambil jeroannya!” ia menatap tajam penuh intimidasi.
“Baiklah.” Bodoh sekali, kenapa aku seakan terhipnotis untuk menuruti perintahnya.
“Ini. Ada seekor ayam babon, kau bisa menyembelihnya dan ambil jeroannya seperti tadi.”
Lantas, pandangan menjadi buram setelah melakukan dua aksi penyembelihan tersebut. Sekilas aku melihat diri sendiri lari-lari di pematang sawah, membopong bebek sembari bernyanyi seperti anak kecil sedang kegirangan. Kemudian muntah di dekat pot bunga depan rumah, jeroan itu membusuk menguarkan baru tak sedap dari permukaan tanah dalam pot—aku terbangun dari tidur.
*(Sebuah catatan harian yang telah dibakar oleh Erin. Tak ada kepolisian maupun orang lain yang mengetahuinya.)
***
Dengan napas terengah-engah, Andre berjongkok dan baru saja melepas lakban yang merekat menutupi mulutku. Ia juga melepas ikatan pada tangan dan kaki. Keringat membasahi seluruh tubuhku, rasanya begitu perih, permukaan kulit terasa tersayat-sayat.
“Andre! Dari mana saja kau ini!?”
“Aku ada di rumah ini, tak pergi ke mana-mana. Tenanglah, maafkan aku karena semalam terpaksa menyekapmu di sini. Polisi belum datang, kita harus segera meninggalkan rumah ini.”