Aliran sungai nadi dicacah pedang malam, aku berlibur dalam kubur mantra.
***
Angin memilin sampah-sampah plastik dan daun kering. Atap sudah banyak berlubang di sana-sini. Mata nyalang memandangi sekitar, tempat ini memang rumahku. Kepala ibu dan ayah kenapa bisa ada di sini lagi? Ini pasti mimpi—benar, hanya mimpi.
Tiba-tiba bocah kecil bernama Bagas melompat lantas mengelepak kepala belakangku. Saat menoleh, ia baru saja mendaratkan kaki di lantai. Debu beterbangan di sekitar mata kakinya.
“Apa yang kau lakukan! Kenapa memukul kepalaku?”
Bocah itu berlari menjauh, ia tersenyum lebar menampilkan gigi kecil-kecil dan kotor—berwarna hitam seperti dilumuri kecap. Nun, tampak kaki bocah itu menekuk lalu jongkok. Dengan masih terus tersenyum ia mengambil sebuah pedang di samping kanannya.
Pedang? Apa mataku siwer? Tidak, itu memang pedang. Kenapa bisa ada pedang di dalam rumah ini? Ia memelesat mendekat sambil mengayunkan pedang. Seketika pandangan berputar hingga bisa melihat atap rumah yang berlubang. Kepala menggelinding—kepalaku menggelinding.
Huh! Kegilaan ini makin menjadi-jadi—brutal! Setiap detik terasa begitu menguras, tubuh dan pikiranku lelah seolah tak berbentuk. Bagas kembali mengayunkan pedangnya, tebasan itu memenggal seorang pria hingga jatuh terkulai. Namun, dari mana datangnya pria itu? Samar-samar, pandanganku mulai kabur, hingga akhirnya aku terperangah. Wajah pria itu… kenapa begitu akrab? Jantungku berhenti sejenak, saat aku menyadari—ternyata itu ayahku. Sejurus kemudian kepala ayah menggelinding ke lantai.
Bagas mendekat, bocah tersebut menjambak rambutku. “Erin, saat ini kau ada di dalam raga ibumu, ini kepala ibumu. Seperti inilah kematian orang tuamu. Lihat, pedang ini—lebih tepatnya katana, sangat tajam dan antik. Ayahmu mengoleksi katana lawas asli dari Jepang. Kau pasti tak menyangka kalau ayahmu akan mati tertebas oleh benda koleksinya sendiri, bukan?”
Mataku berkunang-kunang, bocah itu mengangkat kepalaku yang telah terpenggal. Beberapa langau mengitari wajahku kemudian hinggap di bekas leher yang telah tertebas. Mendadak seluruh kaca pecah bersamaan, banyak sekali burung gagak yang masuk melalui lubang. Beruntung pecahan kaca tak ada yang mengenaiku.
Aku kembali berlari setelah berhasil lolos dari kejaran bocah itu. Tubuh—tubuhku lengkap. Kenapa ini bisa terjadi, apakah ini hanya halusinasi semata? Tidak! Aku tidak mengonsumsi halusinogen atau apa pun yang memabukkan. Sial! Apa yang sebenarnya terjadi, luka sayat di seluruh badan terbuka kembali, rasa perih mendera tak tertahankan.
Jalanan makin terjal dipenuhi rerumputan, seperti gundukan tanah, tepat di bawah ada jalan beraspal. Aku menuruni gundukan tanah, bermaksud menuju trotoar jalan. Namun kaki keseleo sehingga langsung terperosok—tubuhku berguling-guling menuruni tanah berumput basah—embun. Kenapa sudah berembun? Aku menegakkan badan memasang posisi duduk bersila.
Tiba-tiba, dua orang tampak berkelahi di tengah jalan yang sepi. Remang-remang cahaya lampu di bahu jalan menyoroti mereka, menciptakan bayang-bayang panjang yang menari di tanah. Aku mencoba bangkit, tubuhku terasa lemah, melangkah terpincang-pincang mendekati mereka. Suara jangkrik yang nyaring mengisi keheningan malam, seolah turut menyaksikan perkelahian itu, mengalun di udara dingin dan sunyi.