Kembang-kembang dalam jambangan berair keruh itu telah membusuk, ia tenang dalam kubur kekalnya bersama kefanaan yang ia ciptakan.
***
—Bisa perkenalkan latar belakang dan diri Anda?
Nama saya Friska, pernah mengalami hidup penuh dengan jeratan buruk. Kini, saya menjalani pekerjaan yang terbilang membosankan—psikoterapis. Sebenarnya, saya hanya ingin membantu sesama, atau lebih tepatnya, itu kedok. Saya juga ingin sembuh, dari semua luka yang tak tampak. Beberapa kolega saya juga punya latar belakang yang serupa, seperti saya. Perceraian yang menimpa kedua orang tua saya sungguh meninggalkan trauma besar. Tidak hanya itu, kecanduan alkohol dan obat-obatan yang saya alami sempat membuat saya meringkuk selama berbulan-bulan di panti rehabilitasi. Semua itu terjadi saat saya masih duduk di bangku SMA kelas tiga.
Namun kini, saya berusaha menjadi psikoterapis sebaik mungkin. Konsultan psikoterapis yang diagungkan dan dihormati di Pamekasan adalah anak dari adik kakek saya. Setidaknya, saya harus bersikap profesional, meskipun hati ini terasa berat. Yuni Asnawi, dia adalah orang yang selalu memberi motivasi. Dialah yang menjadi terapis saya ketika saya menjalani masa pemulihan karena kecanduan narkoba di masa silam, meskipun saya sempat merepotkan dirinya. Saya kabur dari panti rehab, seperti yang dilakukan Kurt Cobain menjelang kematiannya, bedanya, saya tidak menembak kepala sendiri. Keinginan untuk bebas dan melarikan diri, itulah yang kadang membuat saya merasa begitu rapuh.
Namun, sekarang saya harus tetap bangkit. Saya berusaha memberi yang terbaik, meski kadang saya merasa tidak cukup kuat untuk menghadapi bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui.
—Bagaimana awal mula menangani Erin?
Bermula tatkala dia mendatangi saya, atas rekomendasi salah satu dokter yang memeriksa Erin. Saat itu, Erin mengira dirinya sakit, tetapi setelah diperiksa, seluruh tubuh dan kesehatan fisiknya dinyatakan normal. Maka, jika yang dimaksud adalah masalah lain—mental atau depresi, sang dokter menyarankan Erin untuk menemui saya. Dan benar, saya dihadapkan pada kasus besar seorang pasien yang juga seorang dokter. Kasus misterius yang menimpa Erin begitu rumit, begitu membingungkan.
Erin benar-benar mengalami trauma berat, seakan terkungkung dalam dunia mengerikan yang ia bangun dalam imajinasinya sendiri. Ini bukan kisah simpatik semata, tetapi penjelasan ini saya harap bisa menjadi rujukan pribadi, catatan penting bahwa mental manusia itu sangat beragam. Kerapuhan, trauma, dan berbagai penyebab yang membuat seseorang menderita gangguan mental sering kali tak terlihat oleh mata luar. Hal inilah yang membuat saya tergerak untuk angkat suara dan membantu mereka.
Pak Zul, mungkin beberapa pengamatan dan berbagai kejadian janggal yang saya saksikan sendiri akan membawa Anda pada mimpi buruk—membuat bulu roma meremang, sama seperti yang saya rasakan. Saya ingat betul saat memberikan buku harian kosong padanya. Saat itu, Erin hanya terdiam, murung. Seolah dunia begitu berat untuk ditanggungnya.
“Tidak ada paksaan bila kau tak mau menuliskannya. Tetapi setidaknya tulislah untuk dirimu sendiri,” ucap saya, berharap ia bisa menyalurkan beban pikirannya, meski hanya lewat kata-kata yang dituliskan di atas kertas.
—Lantas sekarang di mana buku harian Erin?