Dunia ini asing, yang terindah adalah kematian yang terkenang.
***
Segala resah dan harapan tak lagi bermakna. Beban yang tak tertanggungkan menghimpit pundak, seluruh eksistensi terasa rapuh, dihantam kegilaan dan kebingungan yang seolah-olah meruntuhkan dunia di sekelilingku. Semuanya mengecil, mengerdilkan diriku hingga aku terjatuh, terseok-seok, dan dikerumuni oleh belatung-belatung kegelisahan yang teramat liar.
“Erin! Erin! Bangun! Erin! Kau harus bertahan.”
Suara itu bergaung dalam kegelapan. Apa itu suara perempuan gotik yang selama ini muncul dalam mimpiku? Namun, kali ini—tidak.
Siapa? Aku hampir tak bisa mengucapkan kata-kata itu, suaraku terhambat oleh rasa berat yang menyelimuti dada. Bukan suara perempuan gotik, pikirku, sejenak bingung. Namun suara ini...
“Ini aku!”
Suaranya tegas, penuh kekhawatiran. Itu suara seorang pria. Aku tenggelam, seolah-olah terikat pada tali besar, dibebani oleh batu raksasa yang menambah berat. Aku terus meluncur ke dasar, tenggelam lebih dalam, dan rasanya, aku hampir kehabisan napas, terimpit antara kesadaran dan kegelapan mencekam.
“Siapa dirimu?” tanyaku lirih.
“Dokter Herman! Aku dokter yang menemukanmu di ruang radiologi.”
“Dok-ter? Her-man?”
Kata-kata itu terdengar asing, seperti terlempar dari dunia lain, namun entah mengapa, aku bisa merasakannya—seperti ada sesuatu yang bergeser di dalam kepalaku, seakan-akan sebuah potongan ingatan terlepas.
“Ya. Erin! Erin! Kau berhalusinasi. Ada seseorang yang menganggu dirimu, menyalahi dirimu, hendak melakukan kejahatan padamu!”
Suara itu memecah keheningan, memaksa untuk bangkit, seolah memberi petunjuk pada teka-teki yang makin membingungkan. Namun, makin aku berusaha meraihnya, makin jauh ia terasa. Ada banyak bagian dari diri ini yang hilang, terpecah-pecah, dan aku seakan tak mampu lagi menggapai utuhnya kebenaran. Aku terlelap, tak lagi mendengar apa-apa untuk beberapa saat, sepertinya ada beberapa puluh detik hingga bisa mendengar lagi. Namun dokter Herman tak lagi bicara denganku. Dia seperti berbicara dengan suster, atau orang lain.
“Dia dalam pengaruh obat, berhalusinasi tidak karuan. Seseorang mencampurkan dosis besar dalam minuman atau obat yang ia konsumsi.” Dokter Herman menjelaskan dengan nada tegas dan penuh kekhawatiran. “Ia mengalami abaran, jiwanya terhalang oleh khayalan yang begitu besar, halusinatoris berkelanjutan. Menggedor realitas, hingga merusak cara berpikirnya, membuatnya bercampur antara fantasi akut dan kenyataan yang tak lagi jelas.”
“Benarkah itu, Dok?” sahut suara wanita.
“Ya,” jawab dokter Herman dengan tegas, tetapi ada ketegangan yang terasa di ujung kata-katanya.
“Apa dia sendiri yang melakukannya?”
Dan hanya itu yang kuingat tentang suara dokter Herman. Setelah itu, ingatanku mulai mengabur, seolah setiap kata yang keluar dari mulut mereka tersapu oleh gelombang kegelapan yang datang begitu cepat. Aku tak tahu apa-apa lagi setelahnya, seolah semua terbenam dalam kabut yang tebal, yang tak bisa kuurai.
Tiba-tiba, Pak Zulkifli muncul di hadapanku. Ia memberikan sebuah catatan kematian—catatan kematian milik Devi, katanya. Bersamaan dengan beberapa catatan kematian lain yang juga tak kuingat dengan jelas. Namun, entah bagaimana, ada sesuatu sangat kuat dalam diriku yang berusaha mengingat. Aku bisa merasakannya dengan jelas—ini adalah kenyataan. Bukan sekadar fantasi.
Pak Zulkifli menarik napas dalam-dalam. “Kau dalam pengaruh obat-obatan, dan halusinogen didapati berlebihan dalam darahmu.”