Selimut Ilusi

Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Chapter #41

Titik Temu

Kalian lakon dan dalang, menari dalam panggung muslihat, mengeja luka, bertakhta dalam ketiadaan, aku hanya lampu panggung.

***

Catatan Dokter Friska

Tanggal: 18 Maret 2021

 

Nama saya Friska, catatan ini ditulis setelah melakukan wawancara dengan Andre. Dari percakapan itu, terungkap banyak hal mengenai Erin. Berkat bantuan adik saya, seorang detektif kepolisian. Kasus Erin perlahan menemukan titik temu, meskipun masih banyak hal yang perlu diungkap lebih dalam.

Saya ingin menyampaikan kepada siapa saja yang menemukan catatan ini: cintai rekan, saudara, sahabat, atau anak-anak di sekitar kita. Kesehatan mental adalah momok menakutkan, tidak boleh dianggap remeh. Seolah-olah itu hanya masalah sepele yang bisa diabaikan, padahal dampaknya bisa menghancurkan fisik maupun emosional.

Ini adalah masalah yang memerlukan perhatian serius, perawatan tepat, dan dukungan dari orang-orang terdekat. Jangan pernah meremehkan kemelut dalam diri seseorang, karena kita tak pernah tahu seberapa dalam luka yang terpendam. Kesehatan mental adalah bagian dari kesehatan secara keseluruhan, dan layak mendapatkan perhatian ekstra.

—Anda saat itu melihat Erin duduk di cakruk tepi pantai?

Ya. Saya menghela napas sejenak dan masih terus bertanya-tanya. Mengapa Erin tiba-tiba mengeluarkan sebilah pisau lantas menghunjamkan pisau itu ke lehernya sendiri?

—Apa dia sudah tahu identitas Anda yang sebenarnya, tidak berdasar pada khayalannya?

Dia tahu saya adalah kakak kandungnya, dan ia sudah melupakan itu lama, jauh hari di masa lalu saat kedua orang tua kami meninggal karena kecelakaan mobil.

—Jadi, Mas Andre. Selama ini dia hidup dalam khayalan, dan menciptakan dunia baru bagi dirinya?

Benar. Semua salah saya karena tidak menangani dia dengan tepat, meremehkan traumanya. Ia mati tertelan khayalannya sendiri, terbunuh semua hal semu yang diciptakan pikirannya yang rusak. Benar. Seakan Erin hidup dalam kegelapan malam panjang dipenuhi sekat-sekat kelabu tanpa cahaya rembulan. Menciptakan dunia baru dan menjadikan dirinya sebagai tokoh utama dalam cerita yang ia tulis sendiri. Semua kejadian, kematian Devi, juga hal tragis lain yang dialami Erin ternyata dampak dari ketakutan dan kesedihan terdalam yang dialami manusia. Saya tak bisa lagi menjelaskan dengan kata-kata, dia mengalami kerapuhan yang benar-benar membawa dampak mengerikan.

—Bagaimana kisah sesungguhnya saat berada di pantai?

Sungguh menyedihkan, Erin kehilangan kaki kirinya—tak lagi bisa digunakan untuk berjalan, dan masih dalam masa pengawasan ketat, bisa dibilang seperti tahanan rumahan. Dia hanya perlu mengikuti prosedur dan tuntutan pihak kepolisian, wajib melapor setiap kali hendak pergi ke mana pun, atau jika ada keperluan apapun. Namun, entah kenapa, semua itu tak terlalu ia perhatikan.

Sudah enam bulan berlalu, dan semuanya berjalan normal, tanpa kejadian aneh atau gangguan berarti. Saya tetap rutin merawatnya, selalu ada di sampingnya, menemaninya melalui hari-hari yang seakan terus melambat. Pada hari itu, kami merencanakan untuk pergi ke pantai, mencari ketenangan, berharap bisa menenangkan pikiran yang sudah lama terombang-ambing dalam kegelisahan. Setidaknya, sudah enam bulan tanpa kejadian janggal, dan dunia seakan kembali pada tempatnya, meskipun dalam diam, saya tahu, segala sesuatu bisa berubah dengan cepat—seperti ombak yang datang tanpa bisa diprediksi.

Lihat selengkapnya