Setelah cuci muka dan menyikat gigi, Bara minum satu kapsul putih kecil—obat yang disarankan Dokter Rendra. Lalu dia juga minum vitamin harian yang biasa dia konsumsi. Multivitamin, omega, dan suplemen otak yang selalu ada di raknya.
Masuk ke ruang ganti, pilih setelan kerja. Hari ini ada rapat penting, dan dia nggak bisa tampil acak-acakan.
Pukul tujuh, Bara udah siap turun ke kantor. Pakai jas biru gelap, kemeja putih bersih, rambut disisir rapi. Parfum segar melekat di leher dan pergelangan tangannya.
“Good morning, Pak Bara,” sapa supir pribadi yang udah nunggu di garasi.
“Pagi,” jawabnya singkat, masuk ke mobil.
Hari ini padat. Meeting sama direksi, laporan keuangan akhir semester, dan juga koordinasi sama tim audit dari kementerian.
Tapi... di sela kesibukan itu, pikirannya nggak berhenti mikirin siapa perempuan di mimpinya tadi malam.
Dan entah kenapa, setiap kali dia liat nama “Dara Fabian” di laporan salah satu divisi proyek lapangan Jawa Timur, jantungnya selalu berdetak lebih cepat.
•••
9 bulan sebelumnya...
“Bu, mobilnya udah siap,” suara Kemala dari balik pintu kamar yang setengah terbuka.
Dara mengangguk pelan, satu tangan masih menekan perutnya yang mulai terasa nyeri lagi. Nafasnya mulai pendek-pendek.
“Rangga...” panggilnya.
Dari walk-in closet, Rangga keluar. Pakai jam tangan dan jas hitam rapi, seperti biasa. Seolah semua ini bukan momen panik, tapi momen berkelas yang dia udah siapkan dari jauh hari.
“Aku udah bilang kan, semua udah aku siapin. Tinggal kamu lahiran,” ucap Rangga santai, mencium kening Dara sebentar. “Sakit? Napas pelan. Nanti kamu rusak makeup kamu.”
Dara nggak jawab. Ia menarik nafas pelan dan memejamkan mata. Ini udah kontraksi kedua dalam satu jam. Dokter sebelumnya sudah bilang, ini saatnya.