“Izinkan aku menikah lagi, Sarinah!” seru Mas Panjul suamiku. Lelaki ganteng dengan brewok tebal memenuhi rahang kekarnya itu berkata tegas. Aku memijat kening karena mendengar keinginan gilanya itu.
“Mas, apa nggak bisa dipikir lagi. Aku nggak mau diceraikan!” seruku. Tangisku pecah membahana memenuhi ruang tengah rumah kami. Iya ... sejak kami menikah Mas Panjul sudah memboyongku hidup berdua, dia lelaki yang mandiri dan bertanggung jawab menurutku. Namun ucapannya kali ini membuatku sedih.
“Loh, siapa bilang aku mau menceraikan kamu, Inah. Aku cuma mau izin nikah lagi,” ucap Mas Panjul enteng. Segitu entengnya dia tidak memikirkan perasaanku. Apa dia sudah lupa dengan ikrar janji yang dulu ia ucapkan di hadapan penghulu? Setia padaku sampai mati.
“Maksud kamu apa?”
“Aku hanya minta izin menikah lagi. Tapi aku nggak akan menceraikan kamu.”
“Kamu egois, Mas. Egois!”
“Inah, Sayang. Izinkan Mas nikah lagi, ya.” Lelaki itu berjalan mendekat ke arahku, tangan kekarnya mengusap air mataku.
“Mas, apa kurangku, Mas,” tangisku pecah. Mas Panjul memelukku erat. Ia mengembuskan napas panjang lalu berucap.
“Besok aku akan mempertemukan kalian berdua. Mas harap kamu bisa menjaga sikap. Bagaimana pun juga, dia calon madumu.”
Aku melepaskan pelukan dengan kasar, kudorong dada Mas Panjul sampai tubuh lelaki itu terdorong ke belakang dan nyaris jatuh.