Mekarsari, 28 Oktober 1980.
Dulu sekali, ada sebuah desa yang dihuni banyak preman, pencopet, dukun, dan berandal. Tapi, di desa itulah kisah ini bermula. Kisah tentang seseorang yang bisa saja berubah, entah berubah menjadi lebih baik, atau malah sebaliknya.
*
Bermula pada saat hari itu, hari di mana Zaeny bangun lantaran asap cerutu yang menguar ke segala penjuru. Perlahan sepasang matanya mengerjap-ngerjap dari balik pintu. Pintu itu terbuka secara perlahan, menampilkan suasana lengang yang terdapat di luar sana, kemudian menoleh ke kiri, menatap jam dinding, sudah pukul 6 pagi. Kendati tetap saja, Zaeny sudah memilih untuk tidak mau bangun pagi ini, lantas menarik kembali selimutnya yang tipis.
Melihat hal itu, Faiz yang sedari tadi duduk di sebelahnya mulai merasa jengkel, lantas berteriak, “Zaeny! cepatlah bangun.” Memukul pundak si lelaki yang masih terbaring.
“Ada apa sih, jujur, aing sebenerna mah aing teh mbung ka sawah” balasnya malas. Sekarang tubuhnya menegak hingga membiarkan selimutnya surut. Alih-alih memamerkan sepasang dada bidangnya yang kekar.
“Lupakan soal sawah, mending kamu bangun, mandi ....
Katanya terus menerus seperti burung beo kelaparan, “Kamu juga harus menemui Abah. Bukannya kamu mau belajar mengaji di sini?"
Hmm, iya juga sih ya ...
“Kira-kira berapa uang pendaftarannya ya?” tanya Zaeny, terlonjak dari tempat tidur.
“Dasar, kenapa kamu masih memikirkan hal itu. Sekarang kamu hanya perlu memberikan ini saja sebagai syarat.” Mengeluarkan sekotak rokok dan amplop pada Zaeny, “Sekarang cuci mukamu itu, dan bersiaplah untuk mendatangi Abah.”