Toko perkakas Bah Jorge, sebuah tungku besar dengan api yang terkadang melonjak-lonjak, siap guna melunakkan beberapa potongan baja mentah.
Penasaran dan menatap keluar jendela. “Apaan sih, masih pagi sudah berisik saja pak tua itu!”
Faiz melenguh kasar, “Sudah kuduga, seperti biasa tidurmu cosplay orang mati,” Segera ia ikut menyusul menatap suasana pasar, orang-orang berlalu lalang termasuk beberapa pedati yang sesekali berhenti.
“Ya, aku memang baru bangun sekarang tapi—
“Tapi apa?”
“Ayolah, aku sudah mengerti bab qodho sekarang, kau tidak perlu khawatir,”
“Oh ya sangat hebat sekali,” sungut Faiz dengan nada mengejek.
Bangun dengan posisi tubuh tegak menghadap pintu. Pintu itu terbuka sempurna setelahnya, akan tetapi bukan Faiz ataupun Zaeny yang membukakannya, melainkan Fia yang berteriak. “Ayo kita makan!” terlihat teramat sangat bersemangat, seakan ada banyak ungkapan gembira di wajahnya.
Saat pagi hampir menjelang siang, hujan turun dengan lebat. Terdengar bunyi air berkecipak di luar rumah Bah Jorge.
“Sudah kuduga, agaknya kita harus seminggu tinggal di sini!” kata Zaeny. Mereka baru selesai sarapan di ruangan yang lumayan besar, setidaknya cukup muat untuk menyimpan meja, lemari, serta rak panjang tempat penyimpanan buku-buku tua.
“Atau mungkin sebulan.” balas Fia dengan nada khasnya yang polos.
“ ... “
“Ups, apa aku salah bicara.” gugup Fia.
“Tidak! Kita akan tetap pulang hari ini, bagaimanapun caranya, Abah sama orang tua kamu pasti sudah menunggu di rumah.” Mulut Faiz bersungut-sungut.
“Tcih, dari kemarin aku belum tahu siapa namanya?”
“Siapa? A-aku maksudmu?” gelagap si gadis yang kemudian mengatakan siapa namanya. “Anjani ... panggil saja seperti itu.” pintanya ragu-ragu.
Melihat wajah gadis itu yang penuh harap, Zaeny mencoba mengalihkan pembicaraan. “Ya, kita akan pulang hari ini.”
“Hujan-hujanan?” tanya Fia, sebetulnya ia sangat ingin mengungsikan kakaknya itu lebih lama lagi.