Gang sempit itu seperti mulut raksasa yang mencekam, dingin dan mencekik. Langkahnya tergesa, bagai rusa yang terluka, dan dengan hati yang berdebar, Zaeny mulai melangkah memasukinya, wilayah kios lama; sebuah tempat yang telah ditinggalkan karena tidak layak huni.
Namun, entah mengapa, dia merasa ada perasaan ragu saat hendak melewati gang ini. Memegangi kepalanya yang berdenyar terasa sakit, seakan bayangan masa lalu berusaha menerobos masuk.
Sementara itu, aroma kopi dari atas kios menguar sangat harum ke penciumannya, membubarkan lamunannya. Tidak di nyana, nyatanya masih saja sama seperti dulu.
“Kalian belum pindah?” Zaeny mendongak ke atas, melihat seonggok teman seperjuangannya dahulu. (Para preman yang sekaligus anak-anak buangan seperti Zaeny.)
“Iya, ngopi dulu biar waras,” seringai salah seorang dari mereka. Dia adalah Gangsar si mulut besar.
“Terima kasih.” balasnya singkat, lantaran menyadari tawaran barusan hanya sekedar basa-basi.
Karena sudah siap menggelar acara inti, saat itu pula, Gangsar melenggang menuruni anak tangga, “Apalagi yang kalian tunggu!” teriaknya. Mereka ikut bergerak—berkumpul hingga memenuhi beranda jalan.
*
Sekarang, udara terasa berat di saat awan gelap tergantung rendah, dan di saat tetes-tetes hujan yang pertama turun, terlihat satu dari mereka maju ke hadapannya. Zaeny terkesiap. Namun, berbeda dengan pikirannya yang terus tertuju pada kedua temannya.
‘Benarkah ... benarkah mereka tertangkap juga?’ rutuknya dalam batin.
Perkelahian berlangsung memanas. Satu orang yang maju lebih dulu barusan berakhir berlumuran darah, “Tcih! Padahal baru saja pemanasan.” Sambil merenggangkan kedua tangannya, urat-urat besar disertai otot ikut menonjol saat ia pamerkan.
Melihat kesombongannya itu, beberapa di antara mereka berhasil di provokasi, alih-alih maju dengan serangannya yang dangkal.