Sudah lewat tengah malam. Zaeny melangkah ringan di atas jalanan beraspal, jalan raya yang dipenuhi oleh sampah bertebaran.
Selepas keluar dari gang sempit dan kumuh, dia memutuskan untuk menghentikan langkahnya, berputar, menoleh ke kanan. Sebuah warung makan dan kopi di pinggiran desa. Lampu petromaks berpendar terang. Orang-orang asyik melahap gorengan dan kopi sambil bercakap-cakap.
"Tidak, jangan melihat ke sana. Aku harus pergi memastikan mereka ke kobong atau tidak!" katanya berusaha meyakinkan diri sendiri, akan tetapi, penciumannya mengenai soal makanan terlalu tajam, dan bagaimana pun, manusia tidak bisa bekerja dengan perut kosong, bukan?
"Baiklah, ini pasti mudah, Zaeny. Kau itu lapar dan tidak punya uang ...." Ia mulai melangkah menghampiri.
"Hey!" bentak suara si penjual di samping, tampaknya dia mulai mencurigai gerak-gerik lelaki itu.
"Kau? Bukankah si berandal yang waktu itu?!" katanya lagi, berusaha mengingat kejadian yang pernah di alaminya dahulu. "Kau mau makan gak bayar lagi! Kan?" tuduhnya hingga membuat lelaki itu tersentak. Orang-orang mulai memerhatikan mereka berdua.
"Bu-bukan, sepertinya kau salah orang paman, hehe," balasnya, berusaha meyakinkan. Namun, si penjual tetap memicingkan matanya, toh dia juga tidak bodoh.
"Biar aku saja yang membayar anak itu, pak." usul salah seorang bapak-bapak yang tengah asyik makan gorengan.
Zaeny menoleh ke arah asal suara. Terlihat seorang pria tanpa mengenakan baju, bertubuh tinggi dan lumayan kekar, kulitnya yang sawo matang nyaris tertutup oleh tato. Tentu saja, orang yang melihatnya pasti menganggapnya sebagai seorang berandal.
"Apa kau sedang tersesat, Zaeny?" kata pria itu, yang entah dari mana ia bisa mengenalinya.
Sejemang yang ditanya hanya diam saja, tepat saat namanya disebut oleh orang yang tidak dikenal. 'Apakah perlu aku mengganti nama saat ini juga?' pikirnya.
"Ya, kau bodoh! Kenapa hanya berdiri mematung saja? Cepatlah kemari!" timpal pria botak, ia duduk tak jauh dari pria itu.
Zaeny mengangguk mengerti seraya menghampirinya. Terdapat saung yang lumayan besar di samping warung, termasuk orang-orang yang tampaknya asyik bercakap, membuat suatu perkumpulan kecil yang larut dalam pembahasannya sendiri.
"Akhirnya kita bertemu secara tak sengaja, Zaeny. Kau tahu, aku sudah mencarimu ke ma~na mana." Katanya, sambil mempersilahkan tempat duduk di sebelah pria botak.
"Ba-bagaimana kau bisa mengenaliku? Bukankah baru kali ini kita bertemu?" balas Zaeny, tak mengindahkan pertanyaan barusan.
Si pria bertato menyeringai, "Kau akan mengetahuinya jika bersedia ikut dengan kami."