Mekarsari, 5 November 1980.
Pada masa-masa itu, malam nan panjang telah usai berganti siang. Sudri dan beberapa kelompok pelanggan setianya terhampar di sebuah padang. Padang yang entah berantah ada di mana.
Di bawah matahari pagi, salah satu dari mereka terbangun dari tidur yang panjang. Menyadari bahwa ia sudah berada jauh dari wiayah desa.
Sementara di kanan kiri, sawah mengapit jalanan berbatu, berkubang lumpur bekas air hujan. Dia berjalan-jalan sebentar, melewati jembatan kali kecil dan berakhir saat melihat sebuah mobil dengan bak terbuka.
"HOOOIII BANGUUUN!" teriaknya dan berlari karena mengenali mobil tersebut.
Mereka kurang lebih berjumlah delapan orang, terdampar di bawah pohon randu tua dan semak.
"Tidakku sangka kalian bakal sial seperti ini."
Kalimat itu keluar dari bibir seorang pria bertato. Ya siapa lagi kalau bukan Bambang. Semalaman pria itu pergi mengendarai mobil milik Sudri.
"Halah bacot! Cepat bawa kami!" teriak Barong. Berdiri menegakkan tubuhnya.
Si botak menyurutkan jendela kaca mobil, "Oke, naiklah ke belakang?" katanya, menyuruh kepada mereka.
Tak lama, deru dari lenguhan mesin mobil tua itu kembali terdengar di telinga. Dicampur oleh bunyi kasak-kusuk dari beberapa karung beras. Jujur saja ini sangat menyiksa, ucap mereka.
Jadi jelas sekarang berjumlah sebelas orang, termasuk lelaki yang dilanda mabuk darat bernama Zaeny.
"Cobalah untuk berhenti merokok, botak!" Dia melirik ke orang yang berada di sampingnya.
"Terus? Kau mau menceramahiku karena merokok membunuhmu?" balas si botak sambil menatap sinis.
"Hiiiiis, cobalah untuk tidak bertengkar. Dengar, kalian itu sekarang partner, bukan musuh," lerai Bambang, berusaha netral sebisa mungkin, sedang wajahnya tetap fokus ke depan.
Sebentar lagi mereka sampai di tempat mereka bisa melihat gerbang berwarna ungu, tembok abu-abu dengan sedikit hiasan daun yang merambat ke atas. Tidak ada handle atau kenop di tengahnya, karena gerbang itu untuk didorong bukan ditarik.