“Ah!” Ia berteriak. Tak terasa, telapak tangannya telah terluka, mengeluarkan percikan darah yang mengalir ke batang kayu, lalu bercampur dengan darah hitam di tanah—darah seekor Slavonian. Sekarang, tengkorak kepala babi itu telah remuk, matanya hancur akibat ujung kayu yang menusuk.
Masalahnya, semakin parah luka yang diderita hewan besar ini, semakin sulit untuk dihentikan. Suara gemuruh di dada hewan itu menggema, dan kakinya yang kuat seolah bersiap untuk berlari sekencang mungkin. Dalam sekejap, Mayang terjatuh setelah terkena dorongan kuat. Rasa sakitnya semakin menjadi, dan dunia di sekelilingnya perlahan-lahan menggelap. Ia pingsan.
*
“Ka-kau baik-baik saja?” intonasi panik Zaeny membangunkan Mayang. Ia membuka matanya perlahan, berusaha memahami situasi di sekelilingnya.
“Babi!” teriaknya.
“A-apa ...? A-aku bukan babi, aku Zaeny.”
“Tidak, maksudku, di mana babi itu?” tatapannya liar mencari-cari.
“Tenang, hewan itu sudah pergi,” Zaeny berusaha meyakinkan sambil berjongkok di sampingnya.
Mayang mengernyit, bingung. “Ka-kau kenapa? Kenapa membelakangiku?”
Zaeny terdiam, tidak ingin menjelaskan. Ia hanya meletakkan kedua tangan Mayang di bahunya. “Diam. Jika kau ingin segera pulang.”
*
Sore harinya, mereka menegakkan tubuh di atas hamparan bukit rendah, larik gelombang awan di atas langit yang cerah. Ini adalah waktunya untuk berpisah. Pikir Zaeny, sambil melihat tepi pemukiman yang dikelilingi batu, pohon serta persawahan.
Jadi, “Selamat tinggal,” kata Zaeny.