“Siang itu, dari segala arah, puluhan bayangan melompat dari atas kios dan kemudian mengepung kami. Wajah mereka menyeramkan dengan tubuh yang menjulang. Aku ketakutan setengah mati melihat pemandangan itu, takut bila mereka akan mulai melecehkanku, melukaiku saat itu juga.
“Aku tidak bisa maju atau mundur. Namun, Faiz tetap meneriakiku untuk lari meski tidak tahu caranya.
“‘Kenapa kau hanya diam!’ teriaknya seperti itu lagi, untuk ke sekian kali sebelum orang-orang di sana mendorongnya, memukulinya hingga darah berceceran. Sementara aku—dua orang mencegat dari depan dan empat di belakang. Mereka adalah orang jahat seperti pria yang memakai masker.
“Namun, bahkan dalam kondisi yang cukup berbahaya sekalipun, teman kakak tidak pernah menyerah menyingkirkan para penjahat itu, menggunakan batu yang dia raup di jalanan. Satu lemparan bagus hingga mengenai wajah mereka.
“Kekacauan terjadi. Mereka mundur, dan Faiz memanfaatkan kesempatan itu. ‘Kenapa kau hanya diam!’ teriaknya seperti itu lagi, suaranya menggema di telingaku, di tengah kerumunan.
“Sejenak, secepat mungkin dengan perasaan kalut, dilema oleh perasaan pengecut—aku terpaksa meninggalkan teman kakak.
“Andai saja, bila ada kesempatan lagi, aku ingin menebus kesalahan itu.”
Mendengar penjelasan panjang Anjani, lelaki itu segera mendengkus, mengangguk dan mulai menebak-nebak siapa penjahat yang dia maksud: apakah Gangsar, Kang Bagong, atau Kang Rawing?
Tapi, masalahnya akan sangat percuma jika hanya mengetahuinya tanpa bisa bertindak.
“Em, apa kau bisa meminta abah untuk mengeluarkanku?” tanyanya, penuh harap. Namun, Anjani hanya menggeleng.
“Tapi, aku akan mencari kesempatan yang tepat,” cakapnya. Ia berjanji, sedikit mencairkan suasana yang semrawut.