beberapa barang milik Bah Jorge turut hancur, kaca meriah pecah, dan berantakan dilempar batu. Sedang Fia, untuk pertama kalinya membekap kedua telinganya. Ini persis seperti sebuah guntur di tengah hujan.
"Bagaimana ini?" pikiran Zaeny mengawang ke mana-mana. Mereka terlalu takut sehingga hanya bisa diam dan mendengarkan kegaduhan dari luar.
“Kak, apa ... kita akan baik-baik saja?” Fia memekik putus asa, memorak-porandakan Zaeny untuk mengarik bahu sang adik, lantas bergegas menarik palang pintu dengan sedemikian rupa, dan cahaya berhamburan ke wajahnya. Ia harus segera menghajar orang itu!
Namun, yang sebenarnya terjadi tidak demikian.
Zaeny tersentak bukan main, saat mengetahui yang berada di ambang pintu bukan lagi si manusia besar, melainkan beberapa anak buah Bos Sadam dengan mobil terparkir di halaman rumahnya.
“Apa sebenarnya yang terjadi di sini?” Zaeny tercengang melihat beberapa rumah warga juga ikut hancur.
“Entah lah, kami tidak tahu pasti dari mana dia berasal. Hanya saja, menurut laporan warga, beberapa hari yang lalu pasar ini tutup dan orang-orang tidak ada yang keluar setelah dia muncul,” kata Bambang, kemudian melanjutkan kembali ucapannya, “Tapi, kau tidak perlu khawatir, dia sudah kabur setelah kami hampir menabraknya tadi.”
“Lalu, bagaimana dengan rumahku?”
“Em ... mungkin ... kau bisa menjadi seperti kami.” tawarnya sedikit ragu.
Belum sempat Zaeny menjawabnya, si gadis kecil bernama Fia menahan, tangannya digenggam erat sambil menggeleng lemah.
Sejenak lelaki itu pun berjongkok, menatap wajah sang adik yang pucat. “Kakak ingin sekali mengajakmu, tapi bagaimana dengan Abah, Fia?" katanya, bertanya lembut.
“Mm, Abah sudah seminggu lebih tidak pulang,”
Sedikit masuk akal, karena sedari awal dia memang belum bertemu dengan orang tua itu. “Apa maksudmu?”
Namun, belum sempat kegelisahan itu berakhir, Bambang segera menepuk.