SELODOR

Nengshuwartii
Chapter #1

UNDANGAN DARI TANAH YANG TERLUPA

Tak ada yang pernah membayangkan bahwa sebuah permainan masa kecil yang sederhana akan kembali mengguncang satu kota. Namun ketika nama SELODOR kembali disebut-sebut bukan di lingkungan anak-anak, melainkan oleh orang dewasa, para pekerja tambang, ibu rumah tangga, mahasiswa, bahkan para lansia maka kota kecil itu mendadak hidup seperti sarang lebah yang terusik.

Semua bermula dari satu orang: Budiman Atmadja, seorang juragan kaya raya asal Kalimantan, pemilik lahan seluas dua hektare lebih, yang tersembunyi di pinggiran hutan kecil. Tanah itu dulunya dijadikan tempat penelitian kecil, kemudian terbengkalai, dan akhirnya menjadi wilayah pribadi yang sepi tapi penuh misteri. Mereka bilang Budiman sudah lelah, bukan karena kurang harta, tapi karena hidupnya terlalu datar untuk seorang kaya yang terbiasa menantang batas.

Hingga suatu hari, dia menciptakan kembali permainan paling berkesan di masa kecilnya: SELODOR.

Bukan untuk mengulang nostalgia.

Bukan untuk hiburan murahan.

Tapi… untuk menyaksikan sesuatu.

Sesuatu yang mendebarkan.

Pagi itu, kota kecil itu digemparkan. Di setiap sudut jalan, papan pengumuman besar terpasang. Tulisan mencoloknya hanya tiga kata:

“PERMAINAN SELODOR – HADIAH TANAH 400 m².”

Orang-orang berhenti membaca, lalu memicingkan mata. Tidak, ini bukan selebaran hadiah sepeda, bukan pula promo diskon. Ini tanah, sebidang tanah kecil yang cukup untuk membangun rumah, toko, atau bahkan masa depan baru. Dan bukan tanah biasa, melainkan tanah bersertifikat penuh, siap diberikan siapa pun yang menang permainan itu.

Di bawah tulisan besar itu, terdapat penjelasan singkat:

**SELODOR adalah permainan strategi, keberanian, dan kerja sama.

Peserta akan dibagi menjadi dua kelompok: TUAN TANAH dan PEMBURU.

Aturannya sederhana: siapa yang berhasil bertahan dan menyelesaikan tantangan sampai akhir, dialah pemenangnya.

Tidak ada batasan usia.

Tidak ada batasan kemampuan.

Siapa pun boleh ikut.**

Satu orang bisa menang. Satu kelompok bisa menang.


Hadiah: 400 m² tanah pribadi.

Pendek, ringkas, tapi cukup membuat setiap pembaca berhenti bernapas sesaat.

Bagaimana mungkin permainan anak-anak yang dulu hanya butuh garis kapur di tanah kini kembali dalam bentuk permainan besar dengan hadiah tanah yang nilainya ratusan juta?

Namun Budiman tahu betul: manusia akan selalu datang jika ada hadiah yang cukup menggoda. Dan dia benar. Dalam waktu kurang dari dua jam, antrean formulir pendaftaran sudah mengular di depan gedung pertemuan kota.

Di tengah keramaian, beberapa wajah mencuri perhatian.

Rachel, seorang perempuan usia awal 30-an, berdiri sambil menggosok jemarinya karena gugup. Dia bekerja sebagai penjaga toko sembako, hidup seadanya, terhimpit cicilan. Mendengar hadiah tanah itu, hatinya langsung melonjak. Ini mungkin jalan keluar yang tak pernah dia dapatkan seumur hidup.

“Kalau aku menang… aku bisa punya rumah sendiri,” gumamnya pelan.

Lalu di belakangnya, seorang lelaki dengan kemeja lusuh tapi tampang cerdas sedang mengisi formulir dengan cepat. Namanya Joseph. Ia mahasiswa tingkat akhir yang hampir putus kuliah karena biaya. Ketika membaca kata “400 meter persegi”, ia langsung terbayang ibunya yang tinggal di rumah kontrakan sempit. Tanah itu bisa menjadi warisan paling berharga.

Tak jauh dari sana, berdiri tegap seorang pria berwajah keras, Bertrand, mantan pekerja tambang yang kehilangan pekerjaannya. Tubuhnya besar, ototnya tebal. Ia tersenyum sinis melihat antusiasme orang-orang.

“Permainan? Hah. Kalau cuma permainan, aku pasti menang,” ujarnya sambil tertawa kecil.

Namun di antara tawa itu, ada ketegangan. Ada gelora yang siap meledak.

Dan tentu saja, nama Budiman, sang pencipta permainan, menggema di setiap bisik-bisik. Orang-orang tak tahu apa yang sebenarnya dia rencanakan. Namun satu hal pasti: kekayaannya cukup untuk membuat permainan ini nyata dan sah.

Siang hari, halaman pendaftaran semakin riuh. Panitia menempelkan penjelasan besar di depan gerbang:

APA ITU PERMAINAN SELODOR?

Selodor dulunya adalah permainan kampung yang dimainkan oleh empat hingga belasan anak. Pemain dibagi dua kelompok. Satu menjadi penjaga (Tuan Tanah), satu menjadi penyerang (Pemburu). Garis demarkasi digambar di tanah. Para Pemburu harus menembus garis itu tanpa tersentuh oleh para Tuan Tanah.

Lihat selengkapnya