Angin sore berhembus tipis di antara pepohonan tinggi yang mengelilingi tanah seluas dua hektare itu. Cahaya matahari yang hampir tenggelam berubah oranye keemasan, memantul di wajah ratusan peserta yang berdiri di area utama, arena permainan pertama Selodor. Di permukaan, semuanya tampak seperti permainan biasa. Tawa masih terdengar, beberapa peserta saling bercanda, dan sebagian lainnya berfoto-foto seolah permainan ini hanya ajang rekreasi keluarga.
Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang terasa… tidak biasa. Entah getaran gugup yang muncul di dada, atau tatapan para penjaga berseragam hitam yang berdiri seperti patung di setiap sudut.
Di barisan tengah, Rachel berdiri sambil memeluk lengannya sendiri, mencoba menahan dingin yang bukan berasal dari udara. Ia memandangi wajah-wajah asing di sekitarnya, ada anak kecil usia delapan tahun bernama Nando, seorang kakek kurus yang dipanggil Koh Seng, seorang gadis remaja rambut pendek bernama Livia, bahkan seorang ibu-ibu bertubuh besar bernama Bu Retno yang tampak siap bertarung meski baru pertama kali ikut acara macam ini.
“Banyak juga yang ikut ya…” gumam Rachel, lebih kepada dirinya sendiri.
“Hadiah tanah itu bikin orang lupa takut.”
Suara itu datang dari samping. Joseph, dengan pakaian serba hitam dan tas kecil di bahu, tersenyum simpul. Senyum yang kelihatannya tenang, tapi menyimpan kewaspadaan.
Rachel menoleh. “Kamu yakin permainan ini aman?”
Joseph mengangkat bahu. “Kalau juragan kaya yang buat, pasti ada aturannya.”
Rachel ingin percaya. Tapi tatapan Bertrand, pria tinggi berotot yang berdiri tak jauh dari mereka, membuat perasaannya tidak nyaman. Bertrand bukan peserta biasa. Cara ia mengamati area, gerak refleknya, bahkan posisi kaki yang selalu siap bergerak menunjukkan bahwa ia pernah dilatih… atau pernah berkelahi.
Sementara itu, di dekat barisan depan, seorang pria berkemeja batik berdiri dengan senyum ramah: Budi. Pria yang dari tadi sibuk menyapa peserta lain, memuji keberanian anak-anak, dan memberikan candaan untuk mencairkan suasana.
Rachel memperhatikannya sebentar. Budiman tampak terlalu ramah, dan pengalamannya selama hidup mengajarkan bahwa orang terlalu ramah biasanya menyimpan sesuatu.
Tiba-tiba, suara sirine panjang menggema di udara.
“BWEEEEEEEEEEEEEP!”
Semua peserta spontan menoleh ke arah panggung kayu yang berdiri kokoh di tengah arena.
Lampu-lampu besar menyala, alunan musik dramatis terdengar, dan dari balik tirai muncul pria yang paling ditunggu Budiman Atmadja, pemilik tanah, pencipta permainan, sekaligus orang yang membuat seluruh pulau memilih membicarakan permainan Selodor selama berminggu-minggu.
Pria itu berdiri dengan gagah, mengenakan kemeja putih, rompi kulit, dan topi koboi. Usianya sekitar empat puluh tahun, tapi sorot matanya tajam seperti pemuda yang baru saja memenangkan pertempuran.
“Selamat sore, semuanya!” serunya melalui pengeras suara.
Sorakan menggema.
“Selodor bukan sekadar permainan,” lanjutnya. “Selodor adalah kenangan masa kecil yang saya bawa kembali. Tapi kali ini… dengan hadiah yang jauh lebih besar.”
Semua orang berdecak kagum. Anak-anak bersorak, ibu-ibu bertepuk tangan, dan beberapa pria bersiul senang. Bahkan Rachel sempat tersenyum kecil.
“Tapi ingat, permainan tetaplah permainan,” kata Budiman sambil menatap mereka dalam-dalam. “Ada kalah, ada menang. Ada yang tersenyum… ada yang menangis.”
Tawa kecil terdengar di sana-sini, menganggap kata-kata itu hanya sambutan dramatis.
Budiman mengangkat tangan.
“Baiklah! Hari ini kita mulai GERBANG PERTAMA.”
Beberapa peserta berseru antusias.
Joseph terlihat menepuk tangan Rachel pelan. “Santai. Paling lari-larian doang.”
Rachel mengangguk, meski hatinya masih berat.
Di belakang mereka, Bertrand tersenyum tipis. Senyum yang entah kenapa membuat bulu kuduk Rachel merinding.
Lalu Budiman Atmadja berbicara lagi:
“Peraturan babak pertama sangat sederhana. Kalian hanya perlu melewati hutan kecil di belakang arena ini dan mencapai titik pertemuan. Tidak ada hal berbahaya. Tidak ada jebakan. Hanya permainan kecepatan, kecerdikan, dan kerja sama.”
Sorak-sorai kembali terdengar.
Beberapa peserta, terutama anak-anak dan remaja berlari-larian kecil, bersemangat seperti sedang mengikuti lomba 17 Agustusan.
“TAPI—!”
Budiman Atmadja mengangkat satu jari, dan seluruh peserta langsung diam.
“Saya ingatkan satu hal. Permainan ini… bukan untuk yang berhati lemah.”
Meskipun kata-katanya terasa mengancam, ekspresinya tetap teduh, seperti guru bijaksana yang memberi peringatan sebelum muridnya melakukan ujian.
“Untuk babak pertama, kalian akan menggunakan kain selodor sebagai alat bertahan. Siapa yang kehabisan kain… dianggap kalah.”
Para peserta tertawa. “Ah cuma gitu?” “Wah gampang!” “Seru nih!”
Rachel menarik napas lega. “Kayaknya benar… cuma permainan biasa.”
Namun, kelengahan itulah yang membuat semuanya terasa mencurigakan.
Ketika sirine kedua berbunyi, semua peserta bergerak menuju hutan kecil. Para penjaga membuka pagar besi besar, dan ratusan orang memasuki area pepohonan dengan semangat yang luar biasa.