Angin malam kini terasa berbeda lebih berat, lebih lambat, seolah udara sendiri sedang menahan napas. Lapangan tanah yang tadi menjadi tempat tawa dan canda kini berubah wajah seperti monster yang kelaparan. Api unggun yang menyala di tengah memberikan cahaya jingga yang menari di wajah para peserta, memantulkan ketakutan yang tak mampu mereka sembunyikan lagi.
Raut ceria menghilang. Tak ada lagi gurauan kecil dari Bayu, tak ada lagi suara tertawa renyah dari Salsa. Bahkan Irma, yang biasanya paling berisik, kini bungkam dengan gemetar yang merambat dari ujung jari ke seluruh tubuh.
Mereka kini berdiri membentuk lingkaran besar. Di tengah lingkaran itulah, para panitia yang kini tampak bukan seperti panitia berdiri sambil memegang berbagai jenis senjata: parang yang tajamnya berkilau, busur panah dengan anak panah berkepala besi, tongkat kayu berat, dan belati yang tampak baru diasah. Dan paling menakutkan dari semuanya: sebuah pistol hitam tergantung di pinggang seseorang.
Namanya Darman. Waktu pendaftaran permainan, ia hanya tampak seperti pria bertubuh kecil yang berperan menjadi juri(kaki tangan Budiman Atmadja). Tidak ada yang menyangka ia adalah satu dari para pengawas permainan yang sesungguhnya. Sorot matanya dingin, bibirnya nyaris tidak pernah bergerak, dan kehadirannya selalu membuat bulu kuduk berdiri.
“Selamat datang di tahap kedua permainan Selodor,” ucap Darman dengan suara yang rendah namun menggema, seolah lapangan memantulkan setiap katanya.
Beberapa peserta menelan ludah. Yang lain menunduk dengan tubuh gemetar.
“Mulai saat ini,” Darman mengangkat sebilah parang, “setiap peserta bertanggung jawab atas hidup masing-masing.”
Seketika suasana membeku.
“Pilih senjatamu.”
TIDAK ADA LAGI TAWA
Nara, gadis berusia 19 tahun dengan rambut sebahu dan mata yang selalu terlihat penuh harapan, menggigit bibirnya. Ia memandang tumpukan senjata yang diletakkan di atas meja kayu. Belati, tongkat kayu, sebilah sabit kecil, beberapa batu besar, panah tanpa busur, tali tipis, dan potongan kayu runcing.
Tidak ada yang terlihat ramah. Tidak ada yang terlihat seperti mainan.
Di sampingnya, ada Joseph, Rachel dan Betrand menarik napas panjang. “… kita masih bisa kabur?”
Nara menggeleng cepat. “Dikelilingi hutan gelap… dan penjaga-penjaga itu? kalian gila?”
Rachel menelan ludah. “Kita bisa coba.”
“Kita mati kalau lari.”
Dan mereka sama-sama tahu itu.
Di belakang mereka, beberapa peserta mulai berebut senjata. Miko, seorang pria berambut gondrong yang dari tadi tampak sok berani, mengambil tongkat besar dan mengayunkannya ke udara dengan senyum aneh. Citra, anak perempuan kecil 15 tahun yang tidak seharusnya ikut permainan, memegang batu dengan tangan gemetar.
Tiba-tiba suara keras terdengar.
BRAK!
Semua orang menoleh. Arman, pria bertubuh kekar yang selama pendaftaran tampak seperti pribadi kalem, meninju meja dan menghempaskan kayu runcing yang ia ambil.
“Permainan macam apa ini?” teriaknya. “Ini bukan yang kami daftarkan! Ini.”
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Darman bergerak cepat.
Sangat cepat.
Dalam sekejap, ujung parang Darman menempel di leher Arman.
“Kau ikut permainan,” bisiknya. “Kau ikuti aturan.”
Arman membeku. Nafasnya tersengal. Mata semua peserta membesar.
Darman menurunkan parangnya.
Arman terjatuh berlutut.
Tawa kecil dari beberapa peserta yang mencoba menghibur diri pun lenyap total.
Sekarang, tidak ada yang bersuara.
PEMBAGIAN WILAYAH
Cahaya api unggun memperlihatkan garis batas baru di tanah. Panitia lain bernama Seno, tubuhnya tinggi dan berotot, menyeret tong berisi kapur sebelum menggambar empat zona berbeda di lapangan.
“Setiap peserta akan ditempatkan di wilayah masing-masing,” katanya. “Kalian harus bertahan sampai matahari terbit.”
“Bertahan dari apa?” sahut seseorang dari belakang.
Seno tersenyum tipis.
“Dari satu sama lain.”
Suasana kembali bergemuruh oleh suara napas tercekat.
“Tapi… ini kan permainan tradisional…” gumam Rachel sambil mengusap mata.
Seno menghentikan langkahnya dan memandang Rachel lama.
“Tidak ada yang bilang tradisi itu selalu aman.”
MEMILIH SENJATA
Joseph akhirnya meraih belati kecil, walau tumpul, setidaknya bisa membantunya bertahan.
Rachel mengambil tongkat tipis.
Randi membawa belati tumpul, sedang Citra tetap menggenggam batunya.
Baru mulai masuk satu per satu di kerumunan Betrand; Maya, perempuan berkerudung lembut namun tegas; Helmi, lelaki berwajah lugu yang tampak seperti tidak seharusnya berada di situ.
Mereka semua mencoba mempersenjatai diri sebisanya.
“Semua siap,” kata Darman.
Setiap peserta kini menempati zona masing-masing.
Zona 1 diisi Nara, Rachel, Joseph, dan dua peserta lain yang tampak terlalu takut untuk berbicara.
Zona 2 diisi Ko Seng, Betrand dan empat peserta agresif lainnya.
Zona 3 diisi Randi, Bu Retno, Nando dan tiga peserta yang selalu saling berbisik, tampak menyembunyikan sesuatu.