SELODOR

Nengshuwartii
Chapter #4

PEMBURUAN

Pistol itu terangkat, berkilau samar dalam cahaya api unggun yang hampir padam.

“Lari, Rachel!” Joseph mendorongnya dari belakang tepat ketika suara DOR! meledak memecah udara.

Rachel hampir jatuh tersungkur ketika mereka menerobos semak. Butiran tanah berhamburan, sebuah peluru menancap di batang pohon tepat di samping wajahnya.

“Joseph!” serunya.

“Aku di sini! Terus lari!”

Di belakang, langkah kaki berjumlah tiga mengejar cepat. Suara tongkat besi menghantam tanah. Tawa kecil yang mengerikan. Suara yang tidak seharusnya dimiliki manusia dalam permainan yang disebut “tradisi”.

**

TINGGAL BERTAHAN, ATAU MATI.

**

Joseph menarik tangan Rachel ketika mereka menemukan celah kecil di antara dua batu besar. Mereka menyusup ke dalamnya, napas memburu.

Rachel menahan napas.

Terlalu dekat.

Terlalu cepat.

Derap langkah terdengar.

“Tadi aku lihat mereka ke sini…” suara berat itu mendekat.

“Satu cewek. Satu cowok. Bunuh yang cowok dulu,” kata yang lain, suaranya tajam.

Joseph meremas genggaman Rachel.

Rachel menahan tangisnya.

Langkah kaki semakin dekat…

Sangat dekat…

Seseorang menyibak semak di samping batu.

Rachel menutup mulutnya.

Detik itu seperti berhenti.

Suara itu tepat di depan mereka.

“Tidak ada,” kata pemburu ketiga dengan suara datar. “Lanjut ke zona empat.”

Langkah menjauh.

Suara mereka menipis.

Mereka selamat… untuk lima menit berikutnya.


DARAH PERTAMA.

Jeritan memecah keheningan dari arah zona 2.

“Aaaaaaahh!”

Suara itu diikuti suara tubuh jatuh dan robekan daging. Rachel dan Joseph terpaku.

“Joseph… itu tadi Kay...”

“Jangan lihat,” potong Joseph cepat. “Kamu harus tetap fokus kalau mau hidup.”

Rachel memejamkan mata. Bayangan wajah teman-teman yang tadi masih bercanda kini tergantikan oleh suara kematian brutal yang baru saja terdengar.

Dari kejauhan, Darman tertawa kecil sambil mengangkat parang.

“Satu gugur.”

Suara itu seperti pengumuman resmi kematian.

Kepala Rachel berputar.

“Joseph…” bisiknya. “Kalau kita tetap di sini, kita yang berikutnya.”

Joseph menelan ludah. “Kita harus cari Betrand. Minimal kita jadi tiga orang.”

Rachel memicingkan mata. “Kamu yakin Betrand tidak akan..”

“Berubah? Berkhianat?” Joseph menghela napas. “Aku tidak yakin. Tapi kalau pilihannya mati atau bekerja sama sementara… aku pilih bekerja sama.”


PERTEMUAN DENGAN BETRAND.

Mereka bergerak diam-diam melewati pepohonan. Cahaya api unggun semakin samar, hanya menyisakan siluet-siluet gelap di antara kabut tipis.

Ketika mereka sampai di ujung zona 2, seseorang muncul dengan napas terengah, tongkat patah di tangan, dan luka sayat di lengan.

“Joseph… Rachel!”

Betrand.

Wajahnya pucat, penuh keringat.

“Kalian selamat?” tanyanya cepat.

“Baru saja,” Joseph menjawab. “Kamu?”

“Tidak yakin.” Betrand memandang ke belakang penuh waspada. “Satu dari pemburu penyamar mengejar aku. Dia bunuh Nando… di depan mataku.”

Rachel terkejut. “Nando mati?!”

Betrand mengangguk cepat. “Dipukul dari belakang. Tidak dikasih kesempatan.”

Rachel menutup mulutnya, gemetaran.

Joseph memegang pundaknya. “Kita harus lewat garis batas pertama, kalau tidak, kita akan disembelih seperti mereka.”

Betrand menyeka darah dari pelipisnya. “Garis batasnya dijaga. Empat penjaga di setiap sisi.”

“Kita cari celah,” Joseph menjawab.

Lihat selengkapnya