SELODOR

Nengshuwartii
Chapter #5

WILAYAH AKHIR

Budiman Atmadja.

Nama yang selama ini hanya terdengar di balik papan proyek, serifikat tanah, dan gosip tentang orang kaya yang merasa hidupnya terlalu mudah. Juragan tanah, konglomerat lahan perkotaan dan pedesaan. Nama yang begitu besar, namun kini terasa dekat, bahkan mengancam, karena ia adalah otak di balik permainan hidup dan mati yang sedang mereka jalani.

Rachel, Joseph, dan Betrand kini berdiri di wilayah akhir, area yang sejak awal disebut sebagai titik paling menentukan.

Memasuki Wilayah Akhir.

Kabut tipis perlahan membuka jalan ketika mereka melangkah melewati garis merah tua yang menjadi batas antara zona sebelumnya dan zona terakhir. Udara berubah lebih dingin, lebih padat, seolah ada sesuatu yang mengawasi. Cahaya matahari seakan diredupkan oleh tangan tak terlihat, sehingga suasana tampak hijau kebiruan, seperti hutan yang menahan napas.

Rachel merapatkan jaket lusuhnya. “Rasanya kayak masuk dunia lain,” gumamnya.

Joseph menanggapi dengan nada menahan gugup, “Kalau ini dunia lain, semoga pintunya ada di depan sana.” Ia menunjuk samar ke arah cahaya hijau yang muncul di kejauhan.

Betrand, yang sejak awal tampak paling percaya diri, malah memasang wajah serius. “Jangan terlalu berharap cepat. Budiman Atmadja bukan tipe orang yang bikin akhir permainan gampang ditebak.”

Rachel menoleh, suara pun pelan. “Kamu ngomong seolah kamu kenal dia.”

“Siapa sih yang nggak pernah dengar namanya?” jawab Betrand. “Orang sekota ini tahu Budiman itu punya lebih banyak tanah daripada pemerintah.”

Joseph tertawa singkat, tapi getir. “Tanah sampai bisa di bagi-bagi kayak hadiah permainan.”

“Ya, tapi tidak gratis,” Rachel memotong. “Ada nyawa buat taruhannya.”

Semua diam.

Karena betul: sudah ada peserta yang gugur. Ada yang menyerah. Ada yang ketakutan. Ada yang… hilang.

Dan kini hanya mereka bertiga.


Papan Peringatan.

Setelah berjalan puluhan meter, mereka melihatnya: sebuah papan kayu berdiri di tengah jalan batu. Kayunya tua, retak, seperti pernah digantungkan lama sekali di ruang yang berdebu.

Tulisannya membuat mereka terdiam:

“SATU MASUK – DUA BERHENTI.”

“PILIHAN KALIAN.”

Joseph paling pertama bereaksi. “Ini maksudnya apa? Kita harus pilih siapa yang lanjut? Gila…”

Betrand mendekat, memeriksa tulisan itu dengan mata terfokus. “Ini bukan pilihan biasa. Ini ultimatum. Budiman sengaja bikin begini untuk pecahin kita.”

Rachel memelototi keduanya. “Dan kalau kita nggak mau pilih? Kalau kita maju bertiga?”

Joseph mengusap tengkuknya. “Apa pun yang di belakang garis merah sana… kayaknya nggak akan ngebiarin begitu aja.”

“Permainannya selalu punya aturan,” tambah Betrand. “Dan kita sudah lihat apa yang terjadi kalau ada yang melanggar.”

Rachel menatap papan itu lama. Napasnya menggigil meski udara tidak terlalu dingin.

“Aku nggak peduli siapa yang menang,” katanya pelan. “Tapi aku nggak mau ada yang mati di akhir. Permainan ini gila.”

Joseph memandangnya, matanya melembut. “Aku juga pengen kita keluar bertiga. Tapi kenyataannya...”

“...kita nggak bisa,” Betrand menyela. “Budiman bikin permainan ini bukan buat kerja sama. Dari awal dia cuma mau satu pemenang.”

Mereka kembali diam. Papan itu seperti bayangan yang terus menuntut jawaban.


Ketegangan di Jalan Batu.

Mereka bertiga tetap melanjutkan langkah, meski dalam hati masing-masing, pertanyaan besar mulai tumbuh: siapa yang paling pantas untuk keluar? Siapa yang paling mungkin menang? Dan siapa yang akan kalah?

Rachel berjalan paling depan. Setiap langkahnya hati-hati, seperti ingin menghindari jebakan yang mungkin muncul kapan saja.

Joseph beberapa kali ingin menyalip, tapi selalu mengurungkan niatnya. Betrand, di paling belakang, justru memperhatikan gerak tubuh dua lainnya. Cara Rachel memegang kantongnya. Cara Joseph mengatur napas. Ritme langkah keduanya.

“Coba dengar,” Rachel tiba-tiba berhenti. “Kalian dengar sesuatu?”

Ketiganya membeku.

Dari kejauhan terdengar suara… seperti langkah kaki lain. Lambat. Berat. Tidak teratur.

Joseph berbisik, “Ada orang lain?”

“Mustahil,” jawab Betrand cepat. “Kita peserta terakhir.”

Tapi suara itu nyata. Dekat. Dan semakin dekat.

Rachel menelan ludah. “Atau… Budiman punya ‘penjaga’ di wilayah akhir?”

Saat suara langkah itu tiba-tiba berhenti, ketiganya sama-sama menegang.

“Sudah, jangan fokus ke hal yang nggak jelas,” ujar Betrand, pura-pura tenang. “Semakin dekat gerbang, semakin banyak ilusi.”

“Siapa bilang itu ilusi?” Joseph membantah.

“Karena kalau itu beneran, kita sudah habis dari tadi!” potong Betrand.

Rachel berbalik, menatap dua laki-laki di belakangnya. “Kalian dua berhenti dulu. Kita sepakat sesuatu sebelum maju jauh.”

“Apa?” tanya Joseph.

“Kita buat aturan kita sendiri.”

Betrand menghela napas. “Rachel, ini bukan tempat buat demokrasi kecil-kecilan.”

“Tapi kalau kita nggak sepakat,” Rachel menatap tajam, “kita bisa saling bunuh bahkan tanpa permainan ini yang menyuruh.”

Lihat selengkapnya