Saat hitungan lima menit mendekati nol, ketiganya berlari menuju jalan masing-masing. Suara detak tanda waktu dari monumen itu kini menggelegar di kepala mereka seperti dentang lonceng maut.
Rachel – Jalur Kiri.
Akar-akar besar menggantung seperti tali jebakan. Baru beberapa langkah, akar itu bergerak.
“Apa…?” Rachel menunduk cepat, satu akar melayang dan hampir menghantam wajahnya. Ia merayap, menghindar, berlari sambil menepis ranting tajam yang bergerak seperti punya nyawa.
Napasnya memburu. “Ini bukan jalur biasa… ini labirin hidup.”
Tiba-tiba akar menutup jalan di belakang, lalu di depan. Membentuk lorong sempit yang memaksanya maju.
“Budiman, kau gila…” gumamnya.
Tapi ia terus melangkah.
Joseph – Jalur Tengah.
Jalurnya tampak terang di awal. Damai. Tidak ada ancaman. Tidak ada suara.
Terlalu damai.
Joseph melangkah ragu-ragu. “Kalau jalanku yang benar, berarti… mereka berdua akan...”
Langkahnya terhenti.
Di lantai, muncul noda hitam kecil. Lalu membesar. Lalu… membentuk lubang.
Joseph tersentak mundur. “Tidak. Tidak. Tidak!”
Lubang itu mengikuti langkahnya. Seperti bayangan yang kelaparan.
Ia berlari.
Tapi lubang itu mengikuti. Menjalar. Membuka lebih besar.
“SIAL!!”
Joseph terpaksa melompat dari satu batu ke batu lain, kakinya nyaris jatuh berkali-kali.
Betrand – Jalur Kanan.
Gelap. Sepi. Dingin.
Tapi Betrand tersenyum.
“Kalau Budiman seperti yang kukenal… jalur paling sepi biasanya yang paling aman.”
Ia menyusuri jalur itu dengan tenang, sampai...
TAP.
TAP.
TAP.
Ada langkah lain.
Betrand berhenti. Jantungnya merayap naik ke tenggorokan.
TAP.
TAP.
Makhluk hitam tinggi, bentuk manusia, tapi tidak jelas, berdiri beberapa meter di depannya.
“Jadi ini penjagamu, Budiman…” desis Betrand sambil menarik napas panjang. “Ayo.”
Makhluk itu menerjang.
Dan Betrand menyambut.
RACHEL – KEBRUTALAN PERTAMA.
Rachel hampir merangkak karena tekanan akar yang mengencang seperti ular raksasa. Ia meraih batu tajam, mengiris salah satu akar. Cairan kehijauan menyembur.
Akar itu menjerit.
MENJERIT.
Bukan suara tanaman. Suara seperti manusia diseret ke neraka.
Rachel mengejang ketakutan namun tetap memaksa maju. Setiap langkah adalah pertempuran. Setiap napas terasa seperti mencium darah dan tanah busuk.
Tiba-tiba akar di depan membentuk bentuk seperti tangan manusia… lalu wajah manusia… lalu mulut besar yang menganga.
“MASUK…” suara itu menggema.
Rachel menjerit dan melempar batu ke mulut itu, kemudian berlari memecah sisi akar.
“AKU TIDAK MATI DI SINI!”
Lorong akar itu retak. Cahaya hijau samar muncul jauh di depan.
Gerbang.