Cahaya hijau lembut dari gerbang itu semakin menyala, bukan lagi seperti ancaman yang mengoyak jiwa, tetapi seperti mesin kuno yang baru bangun dari tidur panjang. Rachel dan Joseph berdiri di depan ukiran dua garis paralel yang baru terbentuk, gemetar, seolah mereka berdua sedang dilihat dan diukur dari dalam.
Betrand bersandar pada monumen, masih ketakutan. “Apa maksudnya… dua garis itu? Kalian berdua semacam pasangan? Penghubung? Atau apa?”
Joseph tidak menjawab. Pandangannya terpaku pada gerbang, pada setiap ukiran, seakan ia sedang membaca bahasa yang bukan bahasa manusia.
Rachel mendekat pelan. “Joseph… apa yang gerbang beritahu kamu?”
Joseph menutup mata. Napasnya tersengal. “Aku dengar… suara. Bukan suara manusia. Tapi seperti gema. Seperti sistem yang bicara dalam kepala aku.”
Rachel menggenggam tangannya lagi, membuat cahaya hijau samar keluar dari persentuhan mereka.
Dan saat itulah, gerbang membuka mata kedua.
Sebuah lingkaran besar di atas ukiran akar mulai berputar pelan. Asap tipis keluar dari celah. Panel seperti kaca buram muncul, memantulkan cahaya hijau yang lebih tua, lebih suram.
Lalu sebuah suara muncul dari monumen.
Bukan Budiman.
Bukan rekaman.
Suara itu seperti gabungan antara gema mesin dan napas manusia.
“DUA KUNCI TERDETEKSI. WARISAN TERBUKA.”
Rachel mundur. “Warisan?”
Joseph mengangguk getir. “Sepertinya… ini bukan permainan. Ini pewarisan.”
Betrand mendesis ketakutan. “Pewarisan apa!? Kenapa harus bunuh banyak orang untuk itu!?”
Panel buram itu tiba-tiba menampilkan sosok yang tidak pernah muncul sebelumnya.
Bukan Budiman.
Bukan ayah Budiman.
Seseorang yang jauh lebih tua. Rambut putih, mata cekung, kulit seperti seseorang yang pernah tinggal dalam ketakutan bertahun-tahun.
“Nama saya Darma Atmadja… kakek Budiman… dan pencipta sistem gerbang ini.”
Rachel membeku.
Joseph mengepalkan tangan.
Betrand hampir pingsan.
Darma menatap mereka dari layar buram itu, seolah melihat mereka tiga puluh tahun ke masa depan.
“Jika kamu melihat pesan ini…”
“…artinya permainan telah mencapai titik yang tidak pernah aku inginkan.”
Rachel menelan ludah. “Jadi… ini semua ulah kamu? Permainan yang membunuh orang-orang?”
Darma menggeleng.
Matanya bergetar.
“Ini… bukan permainan. Ini eksperimen yang lepas kendali.”
Joseph menegang. “Eksperimen apa?”
Darma menarik napas panjang.
“Gerbang ini bukan milikku.”
"Aku hanya orang pertama yang menemukannya… dan mencoba menjinakkannya.”
Gerbang bergetar pelan, seakan mengonfirmasi.
Darma melanjutkan:
“Gerbang bukan teknologi modern. Ia bukan mesin. Ia… entitas.”
Rachel membeku. “Entitas… apa?”
“Sebuah organisme kuno yang hidup dari energi manusia, stabilitas, ketakutan, kemurnian, ambisi. Ia menilai manusia, bukan dengan moral… tapi dengan kemampuan untuk menjadi perpanjangan dari dirinya.”
Joseph memucat.
Rachel merasa lututnya lemas.
“Aku pikir dulu gerbang memilih manusia terbaik. Nyatanya, ia memilih yang paling… berguna.”
Betrand menjerit, “LALU KENAPA ADA TURNAMEN!? Kenapa harus bunuh orang!?”
Darma menjawab dengan suara gemetar:
“Karena entitas ini butuh disuapi.”
“Jika tidak… ia akan keluar.”
Rachel tersentak. “Keluar ke dunia luar?”
Darma mengangguk.