Hari sudah hampir tengah malam, sepulangnya dari pantai tadi sore, aku langsung mengantar Puti ke tempat kosnya. Aku juga kembali ke penginapan untuk istirahat. Namun tiba-tiba di pukul 12 malam, Puti menelpon ku dan meminta aku untuk menemaninya pergi ke kantor polisi untuk menyusul Novi yang sedang menunggui Beno yang ditahan oleh polisi.
Sesampainya di kantor polisi, Puti langsung bergegas memeluk Novi. Aku melihat ada banyak mahasiswa lain yang juga tengah menunggu. Aku segera menyusul Puti, seorang mahasiswa yang duduk di samping Novi menatap terus pada ku. Namun aku merasa malas untuk menatap balik.
"Nggak apa-apa! Beno pasti baik-baik aja! Kalau Beno terbukti nggak bersalah, kurang dari 24 jam pasti dibebasin kok, kita tunggu di sini aja sampai Beno dibebasin," ujar ku pada Novi yang terus menangis di pelukan Puti.
"Kamu siapa?" tiba-tiba mahasiswa yang menatap ku dari tadi bertanya.
Puti menoleh pada mahasiswa itu sebentar, lalu menatap ku.
"Dia," ujar Puti hendak menjawab.
Aku segera mengulurkan tangan.
"Saya pacarnya Puti," ucap ku tegas.
"Oh, udah punya pacar," mahasiswa itu menjabat tangan ku, sambil tersenyum menatap Puti.
"Calon suami lebih tepatnya," lanjut ku.
Mata Puti membulat menatap ku.
"Wow, makin nggak ada harapan kita! Salam kenal, saya Fadil! Tadinya mau deketin Puti, tapi nggak jadi!"
Aku tersenyum pada Fadil, lalu segera duduk di sampingnya. Aku memberikan ruang bagi Puti untuk menemani Novi.
"Kuliah dimana?" tanya Fadil.
"Udah hampir kerja!" jawab ku.
"Oh, kirain mahasiswa juga, kerja dimana?"
"Lagi nunggu penempatan, sementara ini kemungkinan di Kemendagri!"
"Baru lulus tes PNS?"
"Bukan, aku lulusan sekolah pemerintahan."
"Oalah, ikatan dinas, enak ya bisa langsung kerja! Gimana pengalaman kuliah disana? Keras? Udah di doktrin jadi diktator belum?"
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Fadil yang agak menyindir. Ternyata image sekolah ku di mata beberapa orang memang agak tercoreng karena beberapa kasus lama yang menyebutkan adanya kekerasan berujung kematian di kampus ku, terutama bagi orang-orang yang kurang suka pada pemerintah.
"Keras! Tapi alhamdulillah sudah nggak ada kekerasan!"
"Masa?"
"Memang sudah nggak boleh! Kalau ada yang ketahuan masih main kekerasan bakalan langsung dipecat sekarang!"
"Tapi yang diam-diam masih ada kan?"
"Mungkin ya, tapi aku pribadi udah nggak mau mewarisi dan mewariskan kebiasaan zaman batu gitu!"
"Tapi enak lah ya, kuliah disana, udah bisa langsung makan uang negara!"
"Yaaah, alhamdulillah! Tapi kami bayar semuanya dengan pengabdian nantinya! Kami sudah nggak bisa kayak kalian, yang bebas bertanya apa yang negara berikan kepada saya? Tapi kami kedepannya memiliki pertanyaan lain, apa yang saya berikan pada negara?"
Fadil terdiam mendengar perkataan ku.
"Bagaimana demo tadi?" aku berusaha mengalihkan pembicaraan.