“Sudah lama kita menjalin hubungan asmara, aku pikir kalau terus begini, aku akan dianggap enggak serius?” ucap seorang lelaki yang bernama Rizki Hendrawan itu.
Lelaki itu telah lama menjalin asmara dengan seorang wanita bernama Annisa Putriani, seorang anak bungsu dari dua bersaudara, anak pasangan dari Adnan Jayadi dan juga Alena Hisabil. Sebuah keluarga yang latar belakangnya dari keluarga biasa saja, tidak kaya raya, tidak pula miskin melarat, keluarga yang berkecukupan. Hanya saja pasangan orang tua Nisa ini termasuk orang yang memiliki sikap gengsi yang lumayan tinggi.
“Maksud kamu?” Nisa tercengang begitu mendengar kalimat yang Rizki ucapkan. Detak jantungnya seketika berdegup kencang, perasaannya menjadi kacau tidak karuan. Terselip rasa takut dalam benaknya kini. Takut karena lelaki yang menjadi pujaan hatinya berkata demikian. Takut karena tidak tahu ke mana arah pembicaraan itu.
Sudah cukup lama mereka menjalin asmara layaknya pasangan lainnya. Mereka memang pernah sesekali berbincang tentang masa depan, hanya saja, saat seperti ini, Nisa merasakan hal yang berbeda. Atmosfer yang berbeda, sangat membuatnya takut. Bulir keringat seketika mengalir di punggung dalam pakaian yang dia kenakan, dia dapat merasakannya.
Tiba-tiba, di depan umum Rizki langsung berlutut saat mereka telah melangkah di tengah sebuah taman kota, tangan kanannya merogoh saku celananya, sedangkan tangan kirinya masih menggenggam jemari Nisa. Sekali lagi dia kembali membuat Nisa terkejut akan perlakuan itu. Dengan piawainya, Rizki menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna hitam lalu membuka kotak tersebut dengan satu tangannya.
“Aku nggak mau kita terus-terusan begini, aku mau selalu hidup sama kamu sampai tua nanti. Aku mau kita terus belajar untuk saling mengerti satu sama lain tanpa ada orang lain yang membuat kita meragu ataupun goyah. Aku mau kamu menjadi tempatku pulang dan tempatku beribadah mengingat Tuhan. Aku mau kamu menjadi pendampingku untuk mencari Ridho Allah. Kamu mau jadi istri aku?” Rizki melamar Nisa sore itu, di bawah pohon rindang yang menghasilkan semilir angin sejuk kala itu.
Nisa meneteskan air matanya, jatuh membasahi pipi. Dia tidak menyangka jika seorang Rizki bisa benar-benar melamarnya dengan cara yang seperti itu. Dia tahu, jika kekasihnya itu bukanlah lelaki romantis ataupun lelaki yang pandai berkata-kata. Tetapi kali ini, di depan semua orang yang tidak mereka kenal, dalam keramaian yang mungkin sengaja Rizki rencanakan, lelaki itu memberanikan diri melamar pujaan hatinya.
Lidah Nisa menjadi kelu, dia tidak sanggup untuk berkata-kata. Di saat dia menutup mulutnya dengan tangan kirinya, Rizki kembali berucap, “Maukah kamu menjadi istriku? Untuk yang pertama dan yang terakhir kalinya.”
Tidak ada perihal lain yang ada dalam pikiran Nisa selain kekagumannya pada lelaki yang berlutut dengan satu kaki di depannya itu. Lelaki yang menemaninya dalam dua tahun terakhir ini. Segala macam masalah yang terjadi selama bersama dalam status pacaran, sudah mereka lalui dengan berbagai canda dan tawa, tangis dan haru. Mereka bahkan pernah untuk saling menyakiti dan saling tak bertegur sapa. Bukan tanpa alasan, semua hanya karena kekeliruan semata.
Namun, begitulah sebuah hubungan, tidak hanya pasangan, terkadang hubungan keluarga pun sering berselisih paham. Semuanya lumrah terjadi.
Dan sore itu, di taman kota yang begitu indah dengan kicauan burung merpati yang bebas beterbangan kala angin sejuk berembus membelai helaian rambut wanita itu, dia terharu. Sedangkan Rizki masih setia menantikan jawaban yang keluar dari mulut Nisa, berharap bahwa wanita itu mau menerima pinangannya.