Kalimat itulah yang membentuk pribadi Adnan sekuat sekarang. Keras dan selalu tegas. Bahkan terkesan tidak mau kalah. Adnan dan Alena tidak pernah melihatnya menangis hingga saat ini. Bahkan saat dulu acara pernikahan yang telah ia rancang, gagal begitu saja, Ahmad tidak bersedih, ia hanya menjadi jarang berkomunikasi di rumah. Sepulang kerja langsung masuk ke kamarnya, keluar kamar hanya untuk makan dan pergi ke kantor.
Dan kali ini, ia pasti kembali merasakan keyakinannya delapan tahun yang lalu. Ahmad sangat yakin dengan pasangannya saat ini untuk membina rumah tangga yang sakinnah, mawaddah dan warrohmah bersama Rani. Wanita itu dapat menaklukkan kerasnya batu karang yang membentengi dirinya pasca perpisahannya bersama Julie. Rani sangat mengerti dirinya dan juga pekerjaan Ahmad saat ini. Belum lagi, Rani yang selalu mengalah dan selalu mencoba meredam amarah Ahmad.
“Iya, aku yakin. Tapi tolong, kali ini lakukan semuanya sesuai dengan rencanaku. Dan tolong jangan memintaku untuk keluar dari rumah ini secepat angin,” pinta Ahmad dengan mata yang hampir berkaca-kaca.
“Kamu belum punya rumah sendiri, kamu paham, ‘kan?” Alena mulai berucap.
“Maka dari itu, izinkan aku buat tinggal di sini dulu beberapa bulan setelah kami sah. Aku janji akan keluar dari rumah ini.” Ahmad memastikan.
“Serumah dengan mertua atau ipar itu nggak mudah bagi seorang istri. Sedikit saja masalah akan menjadi percikan api yang besar di antara kalian. Tapi bukan berarti Papa atau Mama tidak mengizinkan kamu tinggal di sini. Hanya saja, kamu perlu memikirkan perasaan istri kamu kelak. Kenyamanan kalian, kebebasan kalian.” Alena kembali menambahi.
Ahmad tertunduk lemas, bahunya merosot drastis. Bukan karena merasa dihakimi oleh kedua orang tuanya, tetapi karena apa yang dikatakan oleh Alena memang benar adanya. Tetapi dengan pekerjaannya saat ini, sepertinya tidak mungkin jika ia membeli rumah atau mungkin mengambil rumah secara kredit. Uang gajinya belum cukup untuk melakukan itu. Untuk biaya acara pernikahan saja harus ia kumpulkan selama bertahun-tahun lamanya. Sebab uang yang delapan tahun lalu ia kumpulkan, sudah habis sebagian untuk digunakan bersenang-senang, mengobati luka hatinya.
Sang Ayah masih menatap anak sulungnya, menghela napas panjang. Rasanya berat baginya untuk berbicara serius saat ini. Sebab baginya, anak itu benar-benar mirip dengannya.
Nisa langsung melepaskan cincin yang belum 24 jam tersemat di jari manis kanannya itu, lalu mengenggam erat. “Aku sudah telat, aku berangkat duluan ya?” ucapnya memecah suasana.
Alena hanya mendelik sambil mengembuskan napasnya, melihat putri semata wayang itu bergegas berdiri dari kursi. Mengambil jaket serta blazer yang sebelumnya dia letakkan di kursi meja makan yang kosong. Nisa langsung melangkah mendekati ibunya, menyodorkan tangan untuk bersalaman, mengecup pipi kanan dan pipi kiri Alena. Kemudian meneruskan langkah ke arah ayahnya. Melakukan hal yang sama kepada Adnan. Sedangkan pada Ahmad, dia hanya menepuk pundak lelaki itu dan berkata, “Aku duluan. Selamat berjuang!”
***
Dalam perjalanan, Nisa mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Pikirannya melayang ke mana-mana, tidak tentu arah. Lalu perlahan salah satu tangannya bergerak masuk ke dalam saku blazer yang berada di atas tempat duduk penumpang di sampingnya. Mengambil cincin dari Rizki yang sempat dia selipkan di sana saat berpamitan di meja makan tadi.