Alfia melakukan pereganggan dengan menjalin tangan di atas kepala, lantas membawanya ke depan sampai tiga kali ulangan, terakhir kali jalinan tangannya dia bawa ke depan mulut. Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam lebih lima belas menit dan Alfia sudah menguap melebohi takaran dosis meminum obat.
“Seharian ke mana, Fia? Jam segini udah nguap aja.” Dokter jaga bernama Brivia melewatinya sambil mengacungkan cangkir berisi kopi.
Belum sempat Alfia menjawab, Dek Koas sudah memberikan pembelaan tanpa dipinta. “Maaf, Dok, Fia adalah Miss Tangkal kita. Jadi, mau nguap, kentut, apapun itu ….”
Tiba-tiba ada ribut-ribut dari pintu depan. Satpam membawa dua pasien yang menggelepar kesakitan berlumuran darah. Lantas satpam lain menggendong seorang pasien dengan kepala terkulai. Perawat dengan sigap membawa salah satu pasien masuk ke ruang resusitasi—ruangan penanganan dan stabilitas pasien kritis dengan peralatan dilengkapi dengan monitor. Sedangkan satu lagi di bed biasa.
“Alfia, ambil pasien cewek itu,” teriak Brivia.
Dokter jaga itu melirik ganas ke arah Alfia dan Dek Koas sebelum masuk ke ruang resus. Pasti dokter jaga itu luar biasa dongkol atas sikap celopar Dek Koas yang membuat pasien datang beruntun dalam hitungan detik.
“Dek Koas, tuh dipanggil!” Alfia menyikut rekannya. Dek Koas adalah panggilan para perawat dan dokter kepada mahasiswa koas.
“Dokter Brivia sepertinya peemes,” bisiknya.
“Toleransinya kurang satu mili,” balas Alfia.
“Miss Tangkal jadi misslading. Hadeh.” Dek Koas masih saja bawel.
penghargaan itu untuk kesekian kalinya diberikan kepada Alfia. Alfia adalah koas penangkal. Tangkal hujan mungkin, tetap saja banjir. Hujannya dari atas puncak gunung, tangkalnya di pohon beringin depan balai kota, batin Alfia.
Pasien yang masuk ruang resus keadaanya sangat parah, membuat Dek Koas geleng kepala kerena pasien masih mengenakan seragam sekolah. Rapat OSIS atau apapun itu sungguh zalim pihak sekolah membiarkan muridnya jam segini masih ada di jalan. Mukanya bonyok. Pokoknya mukanya seperti habis digunakan untuk menghapus garis lurus berwarna putih di tepi jalan. Giginya hancur, telinga keluar darah. Luka sobek di pelipis, tangan dan kaki.
“Penurunan kesadaran mana bisa di anamnesisi,” gerutu Dek Koas ikut-ikutan mendelik ke arah Alfia yang mengikuti perawat untuk menyambut pasien yang masuk jeda dua detik dari pasien kecelakaan. Perempuan muda dengan seragam biru abu-abu.
“Ada apa dengan anak SMA hari ini?” celetuk Alfia.
“Mereka dibawa ke rumah sakit oleh warga yang barus saja selesai sholat Isya. Keduanya terkapar di trotoar. Motornya sudah hancur.” Seorang perawat memberikan keterangan awal.
“Ini hari apa, sih?” Dokter jaga bernama Bakti mendekati pasien yang ditangani Dek Koas. “Jangan fokus kepala saja, lihat kakinya juga. Buka itu celananya.”
“Gak bawa helm, Dek?” tanya Dek Koas teman Alfia di bed samping yang dipisahkan tirai berwarna biru.
“Dislokasi tulang tangan dan kaki itu,“ ujar perawat yang mendampingi Dek Koas.
“Untung bukan dislokasi akal, ya, kan, Fia?” Dek Koas minta sokongan dari balik tirai.
“Heem.” Alfia berada di dekat pasien perempuan. Saat berusaha mencondongkan badannya untuk memeriksa tanda vital pasien, tiba-tiba dari mulut remaja tangung itu keluar buih berbau menyengat.
"Pasien ini sudah gawat, saat dilarikan ke sini! Siswa kelas 12 SMA, keracunan herbisida." Perawat datang bersama dokter jaga bernama Bakti, setelah tahu pasien kecelakaan di bed samping bisa ditangan oleh Dek Koas.
Jantung Alfia berdegup kencang mendengar kata "keracunan." Itu bukan kasus yang mudah. Begitu pasien itu dibawa masuk oleh satpam memang seluruh ruangan seakan berdenyut dalam ketegangan yang tak kasat mata. Iblis yang merangkumi remaja itu pasti masih berkeliaran di sekitar tubuh rapuh itu. Remaja itu—tubuhnya kaku, kulit pucat, bibir kebiruan—tampak di ambang kematian. Napasnya pendek, nyaris hilang. Usianya mungkin 17 atau 18 tahun, seorang siswa yang seharusnya tengah menikmati hari-hari terakhir di sekolah.
“Ruang resus kepakai, kita di sini saja.” Dokter Bakti menyuruh Alfia melanjutkan memeriksa tanda vital pasien. .
"Namanya siapa?" Alfia coba bertanya sementara tangannya sibuk memeriksa denyut nadi yang mulai melemah.
"Namanya Adinda, siswa kelas 12," jawab perawat itu dengan nada lirih. “Dibawa ibu dan kakaknya tadi. Katanya, Dinda mencoba bunuh diri setelah tahu dia nggak lulus ujian nasional.”
“Anak saya, Dok. Saya tinggal Magriban. Saya suruh makan sama minum, dia angguk terus masuk kamar bawa teh anget. Setelah sholat Isya saya periksa ke kamarnya, tehnya diminum, Dok, tapi dicampur obat,” raung seorang ibu berusia pertengahan lima puluhan. Ibu itu datang dengan kondisi yang tak kalah menyedikan. Kerudung miring hingga satu matanya yang bengeb tertutup pet. Tubuhnya juga berbau langu.
“Apakah pasien sempat muntah?” tanya Bakti. Si ibu mengangguk, takut-takut.