Semalam di Kota Hujan

Ananda Wahyu
Chapter #2

Guru Rasa Kakak Kelas#2

"Sekolah merupakan wiyatamandala, sehingga tidak boleh digunakan untuk tujuan-tujuan di luar pendidikan. Untuk itu, Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) sebagai satu-satunya wadah untuk menjembatani, membina … latihan kepemimpinan, ekstra …." Terdengar tepuk tangan riuh. Ada juga siulan, entah siapa yang bersiul. Mungkin maling, karena itu kode memanggil kawanananya. “Alhamdulillah, untuk pertama kalinya pemilihan ketua OSIS tahun ini dilaksanakan secara terbuka dan pemilihan langsung. Agar transparan, jurdil---jujur dan adil.”

“Jadi pemilihan kita tahun lalu nggak jurdil?” Nazla mulai menyalakan sumbu. “Kita juga coblosan.”

“Nggak usah sok ngomol, Nanas.” Alfia menaruh telunjuknya di bibir, melarang karibnya itu untuk tidak ngompol alias ngomong politik. 

“Sekolah kita melaksanakan pilihan OSIS ala-ala pilpres. Padahal mah pilpres masih dua tahun lagi.”

“Kan, gue bilang jangan ngompol.” Alfia ingin menjahit mulut Nazla. “Lebih tujuh menit, si Bapak. Hmmm ….”

Hari ini, pengurus OSIS yang baru dilantik, dijemur di halaman upacara yang tanpa naungan seakan ikan dendeng. Sinar ultraviolet memang baik bagi kulit. Akan tetapi, tidak untuk saat ini. Apalagi suara Pak Nasri yang memberikan sambutan pada upacara pengukuhan Pengurus OSIS SMA Al Fikri-Putri yang hanya disambut dengungan oleh banyak siswi. 

“Ya Allah, semoga Alfia pingsan. Lalu, Pak Nasri mengucapkan innalillahi berlanjut, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Apa lo bilang, Nanas berduri!”

"Kaki gue kebas, kepala gatel udah soalnya!” Nazla mengetap bibirmya. Lantas bibir yang iras warna permen neon itu malah nyengir, membuat Alfia mendelik kesal.

Suara Nazla meski hanya bisikan, seakan petir di waktu Dhuha. Alfia mau tak mau berusaha menahan tawa dan kesal secara bersamaan. Berada di barisan paling depan, di samping kirinya, Nazla mendampingi wakil ketua terpilih, dengan doa yang tak berperikemanusiaan dirapal penuh takzim. Alfia ingin merebut bilah kayu di mana bendera kebangsaan berjajar dengan panji-panji OSIS itu berkibar. Bilah kayu yang akan ia hujamkan ke perut Nazla agar cewek genit itu berhenti dari merapal doa konyol. 

“Lo nggak usah berisik!”

“Emang gue pikirin.”

“Ya Allah, semoga koin Nazla saat main Timezone, ketelen mesin. Aamiin!” dengkus Alfia. Memang Alfia belum sarapan. Jadi dia sebentar lagi akan bertransformasi menjadi monster. Mahluk pemakan jantung dan hati milik Nazla.

Alfia tahu Nazla tidak sepenuhnya jujur akan doanya. Namun, dia memang sahabat yang menyebalkan. Nazla tiga bersaudara. Dua adiknya masih kecil. Satu usia sekolah dasar satu lagi taman kanak-kanak. Menurut Nazla, dua bocah itu sudah mewakafkan kepalanya menjadi tempat karantina binatang berkaki enam. 

Sebenarnya, Alfia tak yakin berapa jumlah kaki makhluk itu. Dia tak peduli. Lebih baik memelihara kucing yang bulunya lembut dan empuk. Jadi, waktu Nazla menggaruk kerudungnya lantas di bahu gadis itu ada makhluk hitam sebesar biji wijen yang terpelanting, semua heboh.

Tuing! 

Seperti itu bunyinya.

Mereka beramai-ramai membawa makhluk hitam gemuk itu ke laboratorium biologi. Ketika sudah siap berada di atas kaca preparat, naas, tiba-tiba saja Hilda bersin maka hilanglah makhluk itu seakan siluman. 

Lihat selengkapnya