Sosok itu terlihat sedikit canggung ketika masuk ke dalam kelas diikuti oleh Pak Nasri. Berada di dalam kelas yang berisi dua puluh murid perempuan, mungkin membuat nyalinya ciut. Pak Nasri maju satu langkah sehingga lebih hampir dengan meja paling depan. Beliau mulai memperkenalkan lelaki muda di sampingnya yang berdiri agak di belakang supaya maju ke depan.
“Ini, Pak Arifin Putra. Untuk sementara, akan mengampu mata pelajaran kewiraan kelas tiga. Kaitannya dengan saya harus …”
“Alhamdulillah ….”
Limpahan kesyukuran dari dua puluh siswi membuat Pak Nasri mengernyitkan dahi. Guru muda yang berdiri di sampingnya mengerutkan bibir, menahan diri untuk tidak mencetuskan tawa.
Keriuhan mulai dari barisan paling depan hingga belakang, seakan pasar tumpah jelang lebaran. Yah, Alfia hanya takut, apa yang terbesit dalam minda Pak Nasri. Mungkin beliau akan berpikir yang guru muda itu anugerah, sedangkan dirinya yang mulai beruban dimamah usia adalah bencana alam, persis air bah luapan Kali Ciliwung yang mendobrak Bendungan Katulampa.
“Alfia Hajar Agustin!”
“Saya, Pak.” Alfia langsung mengangkat tangan.
Pak Nasri justru melambaikan tangan menyuruh gadis itu untuk maju ke depan. Mungkin akan diperkenalkan secara simbolik dengan guru pengganti itu. Guru muda itu.
Seakan pengantin yang diiringi kompang, dengan langkah sedikit malu-malu Alfia maju ke depan. Eh, kenapa harus malu? Kenapa juga Alfia malah deg-degan. Karena guru yang sepatutnya dipanggil ‘Kakak’ itu? Alfia komat-kamit mengomel sendiri.
“Alfia, kamu ajak satu teman, terus ke meja, Bapak. Ambil LKS untuk kelas ini, ya. Terima kasih.”
“Saya, Pak.”
Pak Nasri mengangguk.
Alfia sedikit terkejut. Dia pikir akan diperkenalkan dengan guru muda itu. Sudahlah. Dengan menggerakkan ujung jari telunjuk, Alfia mengkode Nazla untuk menemaninya. Beginilah nasib murid yang rangkap jabatan. Meski tiada uang lelah, tetapi harus ikhlas. Lagi-lagi, Alfia ingat peristiwa setahun lalu.
Tenang Alfia, ada Oma yang akan memberi hadiah bila kabar ini engkau sampaikan, bisik hatinya saat memenangkan pemilihan ketua OSIS yang lebih mirip coblosan saat pemilu itu.
“Apa, kamu jadi ketua OSIS?”
Alfia sudah membayangkan kehebohan itu. Oma akan marah-marah bila cucunya yang cantik melepas peluang untuk berorganisasi. Benar saja, sampai di rumah, Oma Nuri langsung berkicau.
“Latihan leadership itu penting, Fia!” katanya lagi. Ya, suara Oma Nuri yang serak melengking menyemangati Alfia. Entahlah, memberi semangat atau mengherdik sangat tipis bedanya.
Anaknya Oma Nuri hanya dua. Keduanya lelaki. Ayah dan Om Reno.
Om Reno masih membujang. Dia selalu bercanda akan menikah bila Alfia sudah kuliah. Padahal, rambutnya mulai beruban satu dua. Terkadang saat sedang di rumah, Om Reno akan meminta Alfia mencabut ubannya. Salah satu punca kenapa celengan Alfia luber.
Akan tetapi, sejak mengetahui kalau uban akan menjadi cahaya di hari kiamat, sebagai keponakan yang baik, Alfia menolak mencabutnya. Alfia tidak ingin, omnya kegelapan nanti di hari kiamat. Om Reno hanya tergelak sambal menepuk kepala Alfia.
Sedangkan anak Oma Nuri yang satunya adalah Bapak Prie atau Priyonggo Hilman, hanya punya satu anak. Namanya Alfia, yang bercita-cita jadi dokter peneliti. Bukan peneliti pediculus captis si kutu rambut. Ataupun hama dan gulma tanaman, seperti mamanya. Tapi, penyakit pada manusia.