"Eh, Mama nggak kerja?" Alfia terkejut apabila melihat mamanya membukakan pintu sekembalinya dia dari sekolah. "Biasanya Mama baru balik kalau sudah gelap."
"Hmmm, Mama terpaksa pulang cepat. Sedikit nggak enak badan," ujar mama menjelaskan. Wajah mama sedikit mengkerut seperti menahan sakit.
Alfia terdiam. Mamanya memang sering sakit-sakitan. Wajah mama sering kali pucat pasi. Tubuh mama tampak semakin kurus dan cekung. Alfia sadar itu. Dia juga sadar pikiran mama tidak begitu tenang sekarang. Namun, puncak sebenarnya belum dapat dibongkar oleh Alfia.
Pernah Alfia berpapasan dengan ibunya itu ketika sedang menangis berhampiran pagar teralis ruangan di lantai dua. Ada perpustakaan di atas sana. Bagi anak yang sudah masuk remaja, tentu saja merasakan apa yang selama ini berlaku dalam keluarga kecilnya adalah salah. Hanya saja belum sepenuhnya dia ketahui kecuali pertengkaran-pertengkaran itu. Pertengkaran yang tidak pernah menyebutkan apapun alasannya.
Sampai saat ini Alfia masih menebak, itu semua sepertinya soal anak.
Ah, ayah.
Alfia pusing memikirkan ayahnya. Memikirkan sikap ayah selama ini. Terutama sejak akhir-akhir ini. Selama hidupnya, Alfia memang kurang dekat dengannya. Watak ayahnya yang keras dan jarang tersenyum Itu membuat Alfia cukup takut walaupun masih menghormati dan menyayangi ayahnya. Dia bahkan tidak pernah merasa ayahnya bergurau seperti ayah teman-temannya. Semua perbincangan dirinya dan ayah terasa sangat formal. Ayahnya hanya berbicara perkara yang penting baik dengan Alfia maupun dengan mama.
Ayah tidak banyak bicara di rumah. Apa yang mengherankan, dia begitu ceria apabila berdekatan dengan kawan-kawannya. Alfia selalu melihat ayahnya tertawa terbahak-bahak ketika di luar rumah. Dia cemburu melihat ayahnya seperti itu.
Sepatutnya sebagai anak tunggal, Alfia pantas bermanja-manja dengan ayah dan mamanya. Konon juga anak perempuan lebih dekat dengan ayahnya. Ayah adalah cinta pertama seorang anak perempuan. Namun semua itu tidak Alfia rasakan.
Secara lahiriyah, Alfia memang mewah. Dari segi pelajaran pun Bapak Priyonggo Hilman memberikan perhatian khusus buat Alfia. Sejak dia masih kecil dahulu hingga lulus SMP ada guru private datang ke rumah. Ayahnya itu juga mencarikan ustadzah untuk mengajar agama dan mengkaji Al-Qur'an.
Dia satu-satunya anak di rumah dua tingkat itu, tentu saja apapun keinginannya tinggal sebut dan tunjuk. Allah hanya memberikan satu zuriat sebagai penyeri keluarga Priyonggo. Namun, entah kenapa ayahnya tidak pernah memikirkan cara bermesraan dengan Alfia maupun mama.
Alfia pernah punya adik. Sampai detik ini dia yakin karena itulah ayahnya mulai menarik diri. Karena adiknya tidak bisa bertahan hidup lebih lama. Hanya sebentar sekali Alfia bergelar seorang kakak. Bahkan tidak sempat mendengar tangisan adiknya. Cepat sekali bayi mungil seukuran botol syrup itu pergi. Adik Afiah seorang cowok, lahir melalui bedah caesar sama sepertinya.
Ayah seorang yang gigih. Terlalu gigih malahan. Itulah karirnya cepat sekali menanjak dan ayah seringkali keluar kota. Dunia Ayah ialah pekerjaannya. Karirnya!
Bagaimana dengan Mama?
Dengan Alfia, mama memang seorang ibu yang baik. Lembut, mesra, dan penuh kasih sayang dengan seri keibuan. Akan tetapi, dengan ayah? Sebagai seorang istri? Bagaimana? Cukup mesra, 'kah?
"Fia, kalau mau makan ganti baju seragamnya dulu!"