Bukan pengecut, tetapi memang Alfia tidak pernah melakukannya. Setiap keluar rumah selain dari ikut belanja atau main ke rumah teman, itupun pada siang hari. Belum pernah sama sekali dia keluar sendirian, apalagi pada malam hari.
Alasannya jelas, Alfia terlalu kolokan. Dia hanya pergi bersama ayah, mama, atau orang lain yang itu adalah anggota keluarga besar Oma Nuri. Alasan lainnya, itu akan jadi bahan gunjingan. Meski rumah mereka berpagar, masih cukup terbuka dan memungkinkan orang luar, tetangga kiri kanan tahu semuanya. Suara batuk ataupun racauan ayah dan mama yang saling menghardik saja menjadi bahan gosip. Bisik berisik dari mulut ke mulut dan sampailah ke telinga Oma Nuri. Lewat bibik penjual nasi uduk, mamang sayur yang lewat Gang Bapeund.
Sememangnya semua orang kenal Oma Nuri.
Kalau tadi saat keluar rumah ayah tanpa kata dan terlihat tak peduli—hanya sedikit menjengilkan mata, kini dengan langkah pelan mendekati Alfia. Lelaki paruh baya itu menarik pelan ransel yang sudah digendong putrinya, lalu menggandeng tangan kurus Alfia menuju ruang keluarga. Ayah mendudukkan gadis itu di sofa lantas ia menyusulnya kemudian.
Hanya pergerakan sofa yang menjadi penanda ada orang lain di samping Alfia. Selebihnya hanya keheningan yang menguasai ruang keluarga itu.
“Martabak manis isi ketan. Itu kesukaan kamu sama mamamu?”
Alfia melirik ke arah meja. Ia bahkan tidak mencium bau apapun. Biasanya martabak ketan meski pada radius ratusan meter pun, Alfia dapat mengendusnya. Penciuman gadis itu laksana anjing pelacak. Biasanya, ia akan pura-pura mengelus perut sambil menggeliat di depan sang mama dan mengatakan cacing di perutnya memerlukan asupan gizi lebih. Tepung-tepungan yang ditaburi coklat dan keju parut. Bau pedagang martabak di depan Toko Al Amin saja bisa diendusnya.
“Fia lagi marah,” sungut gadis itu sedikit mengerucutkan bibir. Sambil membelalakkan mata ke atas langit-langit. Yah, asal tak bersitatap dengan ayah ataupun si martabak yang masih mengepul asap tipis nan harum itu.
“Ayah, minta maaf.”
Apa? Alfia tidak salah dengar, 'kan?
“Harusnya bukan sama Fia, tetapi sama Mama! Kenapa, sih, kerjaannya marah melulu? Atau, Ayah perlu kerja tambahan, semacam kerja sampingan?”
“Hah?”
Keduanya sama-sama diam akhirnya. Dari kamar mama sayup-sayup Alfia mendengar suara Bik Siti. Mungkin membersihkan kamar yang tadi menjadi ajang Perang Baratayuda kedua majikannya.
"Eh, kenapa sudah malam Bik Siti masih ada di rumah?"
Ayah diam.
Bik Siti itu pendiam. Tidak pernah sengaja keluar tanpa keperluan penting. Tidak pernah menggantang asap—bergosip. Itu istilah Abang Batak belakang rumah mereka. Bik Siti sudah ikut keluarga ayah sejak lama.
Alfia meraih remot televisi, berniat mengusir kebekuan dengan siaran apapun itu. Keinginan untuk lari dan bermalam di rumah Nazla sudah menguap. Entahlah, bila melihat saja ayah dan mama di dekatnya, Alfia merasa hangat. Berada dalam satu atap yang sama meski mereka saat ini sedang marah, saling irit bicara, hati Alfia sebagai anak dilanda bahagia tak terkata.