Alfia tahu Nazla bingung ketika melihat penampakkan matanya yang seakan habis bergulat dengan ratu lebah beserta pasukannya. Untung saja, Alfia belum pernah berseteru dengan ratu lebah. Paling berpapasan dengan Hachi yang tidak sedang mencari ibunya, tetapi nungging di pojok taman milik mama yang ditanami serumpun bunga kaliandra, matahari juga mawar.
Lebah memiliki keberadaan yang saling menguntungkan dengan angiospermae atau tumbuhan berbunga. Akan tetapi, tidak setiap bunga yang diciptakan oleh Allah terlihat sama di mata lebah. Menurut mamanya, lebah tertarik dengan bunga berdasarkan warna, aroma, dan penampilan.
Alfia ingin mengutuk para ahli pemuliaan tanaman modern yang telah membuat hidup menjadi sedikit lebih keras untuk para lebah. Petani telah banyak membuat bunga ganda, kental dengan beberapa kelopak. Padahal sesungguhnya bunga-bunga itu lah yang menyembunyikan nektar sehingga lebah tak dapat menemukannya. Madu adalah kebahagiaan koloni lebah. Menanam bunga secara sederhana atau bisa dibilang kuno dengan menanam satu jenis bunga yang terbuka kelopaknya mampu menarik perhatian lebah untuk menemukan nektar.
"Lo, nembak, Su Huan?"
"Enak, aja. Gue nggak kek lo, gila drama Mandarin. Kamar bejibun isinya bukan rumus phytagoras sama gambar anatomi, eh, gambar Putri Hun Zhu sama pacarnya. Hausiang ... hausiang, konon nama gebetan ditukar jadi Su Huan," ketus Alfia.
Nazla terkekeh, sambil mendelik genit. "Gue, lupa soal kehidupan cinta monyet lo yang garing. Waktu kita kelas dua, nonton Cinta sama Rangga aja, lo, ngantuk.”
“Gue udah nolak, males sama film cinta-cintaan. Lo maksa.” Alfia mendelik.
“Haaa, semua cowok juga takut liat tampang bokap, lo. Serem, kek, Tuan Takur."
Ya Allah, sebenarnya bukan karena mendapat nilai minus atau putus cinta. Sama sekali bukan itu. Ini semua tidak seperti yang Nazla tebak. Ini karena tangis kebahagiaan itu. Tadi malam, mereka bertiga makan di meja bersama. Alfia, Ayah dan Mama. Meski tanpa celoteh yang berarti. Alfia tahu, sedikit kaku tapi, sesuatu yang kaku itu terkadang memang mengandung kumparan tinggi. Apalagi saat ia melihat ayah menyusul mama ke kamar.
"Lo, ngintip orang mandi di kali, ya? Bengep gitu?" Nazla masih dengan rasa ingin tahu menebak sebab mata Alfia yang bengkak.
Alfia menggeleng. Menerbitkan senyum mengalahkan kilau mentari di bulai Mei. Yah, mata gadis itu hanya sedikit bengkak. Selain menangis bahagia, ia juga menunggu ayah keluar dari kamar mama sampai pukul dua pagi. Sampai di saat Alfia masuk kamar sepertinya semua baik-baik saja.
"Begini, meski gua tinggal dekat kali Ciliwung pamali ngintip orang mandi juga. Lagian, nggak ada yang mandi di Ciliwung. Kalau nyuci sama boker, banyak." Alfia terkekeh-keleh. Nazla menutup hidungnya. Sok, jijik. "Lo, tau, Naz?"
"Nggak. Kan, gue bukan dukun dari Jelapang," ketus Nazla.
"Memang bukan dukun. Tapi, calon dukun kucing," kekeh Alfia sambil membenarkan kerudungnya. Gadis itu memakainya agak ke depan, agar menutupi mata yang sedikit berkhianat. "Ehmm, lo tahu telepon koin depan rumah kos milik Oma?”
“Tau. Napa emangnya?”
“Ambrol!"
Nazla langsung terkejut. Dia yang tadi menopang kedua pipinya, kini membekap mulutnya sendiri seakan menahan pekikan.
"Kosan Oma, kena nggak? Itu ujian, yang sabar, ya. Harta nggak dibawa mati, Fia. Lagian, Oma udah kaya raya, cucunya cuma lo seorang. Coba gue punya kakak cowok, udah gue jodohkan sama elo. Pernikahan dini juga nggak papa sih. Juragan kos-kosan, ceunah."
Alfia menepuk jidat dengan pemikiran konyol Nazla.