Alfia tentu saja terkejut. Pak Arifin, ikut jadi pembimbing LKS? Dia pikir, jurusan lelaki muda itu ilmu sosial. Mengingat gayanya yang rapi dan klimis itu. Lagi pula, guru muda itu mengajar kewiraan.
"Pak, si Alfia melongo, kek, sapi aja. Heran dia.”
“Siapa yang melongo,” ujar Alfia menampik ejekan Nazla. Gadis itu merasa aneh karena Pak Arifin sampai mengejar dirinya dan Nazla menuju kantin. Kelompok Alfia bukan prioritas lagi, mengingat mereka sudah kelas tiga. Hanya sebagai tandem untuk anggota KIR kelas satu dan dua.
“Lo pikir, Pak Arifin mengajar kewiraan terus kagak ngerti mikroskop," kekeh Nazla menertawakan ketidaktahuan sahabatnya. Siku Nazla bergerak-gerak menyikut rusuk sahabatnya yang memamerkan wajah keras seperti papan pengilesan cucian warga Bapeund.
"Lha, iya. Bapak, jurusannya apa, sih? Sarjana apa gitu?" tanya Alfia ingin memastikan kompentensi Arifin Putra.
"Belum sah sarjananya. Masih, nunggu jadwal sidang skripsi. Insyaallah, sih, SP. Sarjana Pertanian, spesifiknya, Hama dan Penyakit Tanaman," jawabnya kalem persis kertas tisu dilipat.
Alfia meringis canggung. Waduh, kok, berjumpa hama, lagi. Bisa sama dengan mamanya.
Alfia jadi membayangkan pertemuan keduanya sambil mengudap walang goreng sangrai. Pak Arifin mengobrol pada pagi, siang, dan malam hari jika berjumpa mamanya. Obrolan itu tidak jauh dari wereng, kepik-kepik juga hama penggerek daun. Akan tetapi, dalam rangka apa coba, ketemu mama? Dendangan hati Alfia terdengar sumbang.
"Kalian boleh ke kantin. Bapak duluaan, ya."
"Terima kasih, Pak." Alfia mengangguk dengan wajah bersemu merah. Sedangkan Nazla bersiul-siul memanggil setan.
“Aa juga masih pantas. Ya, kan? Atau, Abang.” Selain bersiul, Nazla masih saja menyikut pinggang Alfia.
“Dih, apaan.”
Alfia menutup satu telinganya. Satu tangannya mendorong tubuh gempal Nazla masuk kantin yang riuh itu.Terlambat lima menit bisa-bisa bakso Wonogiri Mbak Ningsih habis.
“Hai Fia, Nazla, lo berdua udah dapat kabar seleksi penelusuran minat dan kemampuan. Anak Semansa udah pada dapat undangannya, lho.” Hilda melambai pada Nazla dan Alfia, memberi ruang kosong salah satu meja di pojokan.
“Oh, iya, ya. Bukannya masih bulan Meret tahun depan?” Alfia tak langsung duduk. Ia memesan bakso dan mengambil teh botol terlebih dahulu.
“Berarti gosip itu, ihh.” Hilda beringsut memberikan ruang untuk Nazla yang memilih langsung duduk daripada memesan makananya.
“Gue nggak yakin dapat. Kampus Hijau banyakan ambil daerah terluar, deh. Kuota untuk luar pulau Jawa itu lebih besar.” Bahu Nazla merosot, berusaha menghitung piagam yang dia miliki.
“Ya, kali lo nggak dibantuin kolega nyokap. Secara itu almamater nyokap lo.” Hilda tidak percaya dengan raut sedih yang coba dipamerakan Nazla.
“Ingat nggak boleh nepotisme. Kalau nggak dapat dari jalur undangan, gue ikut tes di Jogja aja.”
“Tetep kedokteran? Atau biologi?” tanya sahabatnya yang menjulang dari kelas sebelah itu.